Sabtu, 31 Maret 2012

Pesona Sang Negeri Raja "Dharmasraya"


Jejak Kemegahan Kerajaan Melayu Di Dharmasraya

Kabupaten Dharmasraya merupakan salah satu dari tiga Kabupaten baru hasil pemekaran Kabupaten Sawahlunto/Sijunjung pada tanggal 7 Januari 2004. Secara geografi Kabupaten Dharmasraya berada di ujung Tenggara Provinsi Sumatera Barat, dengan topografi daerah bervariasi antara berbukit, bergelombang dan datar dengan variasi ketinggian dari 100 m - 1.500 m diatas permukaan laut.
Meski masih berusia muda, kabupaten Dharmasraya menyimpan sejuta pesona. Dari sini sekitar abad 11 Masehi lembar sejarah Kerajaan Melayu bermula. Peninggalan-peninggalan arkeolog seperti candi, artefak, mesjid, makam raja-raja dan rumah gadang menjadi saksi  bisu sejarah Kerajaan Hindu-Budha dan Islam di Kabupaten pemekaran ini.
Nama Dharmasraya mungkin tak sepopuler Kota Padang, pun tidak setenar Bukittinggi dengan Jam Gadangnya. Namun di kabupaten hasil pemekaran ini tersimpan situs sejarah Kerajaan Melayu yang bernama “Dharmasraya” yang sekarang menjadi salah satu Kabupaten di Sumatera Barat. Negeri yang terletak di perbatasan Sumbar dengan Jambi ini menjadi saksi bisu kebesaran Kerajaan Dharmasraya pada masa dahulunya. Meski Kerajaan itu telah lama runtuh namun jejak kemegahan masih bisa ditemukan di Dharmasraya, tepatnya di Siguntur Kecamatan Sikabau Kabupaten Dharmasraya.
Candi-candi peninggalan Kerajaan Melayu yang bersemayam ratusan tahun di Kabupaten Dharmasraya itu bisa dinikmati secara gratis. Untuk menembus kemegahan kerajaan Melayu di Dharmasraya, jika berada di Padang bisa di tempuh dengan perjalanan darat sekitar 8 jam perjalanan dengan angkutan umum seperti bus yang ongkosnya hanya 30 ribu rupiah, namun jika menggunakan kendaraan pribadi hanya membutuhkan waktu paling lama 6 jam saja, dan kita bisa memanjakan mata serta menyaksikan sejarah kemegahan Kerajaan Melayu pada masa dahulunya.
 Bangunan candi di Dharmasraya, yang hampir seluruhnya tidak utuh, merupakan salah satu simbol kejayaan Kerajaan Melayu yang mulai menyeruak di Swarnnabhumi, sebutan lain untuk Sumatera, setelah kekuatan Kerajaan Sriwijaya di Palembang terdesak akibat serangan Kerajaan Koromandel di India, yang ketika itu diperintah Rajendra Chola sekitar abad ke-11. Waktu itu, pusat Kerajaan Melayu masih di Jambi.
 Kejayaan Kerajaan Melayu Dharmasraya menyisakan sejumlah peninggalan bersejarah. Ketenaran Kerajaan Melayu sewaktu bertahta di Dharmasraya masih bisa dilihat dengan adanya sejumlah candi di tepi aliran Sungai Batanghari. Candi itu antara lain Candi Padangroco, Pulau Sawah, serta Rambahan.
Bentuk dan bahan pembuat candi di Dharmasraya ini mempunyai kemiripan dengan Candi Muara Jambi di Provinsi Jambi serta Candi Muara Takus di Kabupaten Kampar, Provinsi Riau. Diduga, sekitar daerah itu juga masih tunduk di bawah Kerajaan Melayu. Candi di tepi Batanghari ini tidak semewah Candi Prambanan yang berhiaskan ukiran di sepanjang sisi dindingnya. Pun, tidak terdapat patung Buddha seperti di Borobudur. Candi yang dibuat pada masyarakat Hindu-Buddha tantris ini tersusun dari batu bata.
Tidak ada semen untuk merekatkan bata. Teknologi zaman dulu memanfaatkan air dan gesekan dua bata untuk mengencangkan cengkeraman batu-batu dari tanah ini. Ukuran batu bata candi umumnya lebih besar dibandingkan batu bata bangunan masa kini. Di Candi Padangroco, misalnya, batu bata yang menyusun candi buatan sekitar abad ke-13 itu bisa berukuran sekitar 20 x 30 sentimeter. Ketebalan bervariasi, bergantung pada kebutuhan.
Candi induk Padangroco dibuat dengan batu bata yang relatif tipis, sekitar 4 sentimeter. Mungkin, alasan bentuk candi yang semakin beragam menuntut adanya bahan bangunan yang relatif fleksibel untuk mengikuti kebutuhan arsitektur. Ketebalan bata pada candi induk berbeda dengan candi perwara yang digunakan sebagai altar persembahan. Padahal, candi- candi ini masih terletak satu kompleks. Di sinilah terlihat pertimbangan arsitektur yang begitu detail pada masa itu.
Sebuah arca bernama Rocok ditemukan di sekitar candi ini. Arca setinggi sekitar 4,5 meter dengan berat lebih dari 4 ton itu diperkirakan berusia enam abad. Kini, arca, yang sebelum ditemukan oleh para ahli digunakan untuk batu asahan oleh penduduk sekitar, berdiri tegak di Museum Nasional, Jakarta.
Pesona Dharmasraya tidaknya hanya sebatas peninggalan-peninggalan kerajaannya saja, tapi juga sumber daya alamnya yang kaya seperti kelapa sawit dan karet. Jika berkunjung ke Dharmasraya, maka di sepanjang jalan lintas sumatera yang membelah kabupaten Dharmasraya terlihat pemandangan yang sangat memanjakan mata. Kebun sawit dan karet berjejer rapi.
Jika ada waktu luang, atau hari libur berkunjunglah ke Dharmasraya, sambil  mengingat sejarah bisa juga menyejukkan pemikiran dari setumpuk masalah dengan menikmati pesona keindahan alamnya dan “Anda Memasuki Kabupaten Dharmasraya Dan Nikmati Keramahtamahan Kami..” itulah Slogan saat anda memasuki Kabupaten Dharmasraya.(Era Susanti)





Rabu, 28 Maret 2012

Coretan Secuil Harapan "NEGERI SEJUTA SENSASI" (Era Susanti)


NEGERI SEJUTA SENSASI
Melihat kondisi bangsa saat ini, bingung juga di buatnya. Sebagai secuil bagian dari masyarakat saya sebenarnya ingin cuek dan pura-pura tidak tahu, atau tidak mau tahu sama sekali. Saya sangat takut membicarakan hal seperti ini, saya takut dibilang Sok, awak ketek gaya ka gadang-gadangan.
Tapi, sungguh tak tegah juga melihat bangsa ini. Bangsa yang dipimpin dan dikelola para penguasa yang bertubuh dan  bernyawa tapi tampak seakan tak berhati. Ops, jangan salah paham bapak/ibu yang terhormat. Ini bukan tudingan, namun “seakan tampak” tidak pasti kebenarannya 100%. Ini hanya asumsi, dan saya yakin  bapak/ibu adalah orang yang berhati. Kalau hati tak ada, pastilah mati.hehe...mati rasa maksudnya.
Rakyat menjerit karena berbagai tingkah dan  sensasi yang mereka buat. Bagi mereka yang memang sudah apatis, apalagi sudah terlanjur memandang negara ini sebagai negara ilusi atau bahkan negeri tanpa solusi, anggaplah coretan ini sebagai alarm bagi ungkapan hati saya saja.
Entah apa sebenarnya yang tengah terjadi di negeri ini, entah karena baru atau sedang belajar berdemokrasi atau memang tak tahu apa itu demokrasi dalam tatanan bernegara? para pejabat publik seakan memelintir Republik ini menjadi rumah tangga pribadi. Di sisi lain, rakyat pun mengira bahwa pengelolaan republik ini sudah berjalan di atas narasi kekuasaan yang tak terbendung dari para pejabat Ibu Pertiwi. Dua hal inilah yang sangat menonjol dalam hidup berdemokrasi dalam 15 tahun belakangan.
Lihatlah betapa banyak demostrasi yang bahkan tampil brutal, mulai dari menghantam dan mengobarak-barik kantor pemerintah, perlawanan sengit terhadap polisi yang sudah rela meninggalkan keluarga demi negara, hingga menutup akses jalan tol supaya rakyat lain ikut menganggur dan merugi seperti mereka. Korupsi yang sedang memonopoli tiap lapisan struktur pemerintahan serta kebijakan-kebijakan sepihak, yang begitu menyiksa rakyat di satu sisi dan protes berkepanjangan dari masyarakat atas ulah jahat dan laknat bernama korupsi di sisi lain seakan harus (bisa)  kita mengerti (bukan untuk dipahami apalagi untuk dimaklumi) dari dua sudut pandang asimetris di atas.

Mengiris!, negara ini tertatih-tatih dalam kengerian yang mencekam Ibu Pertiwi, membuat bulu kuduk merinding, dan mata mengernyit akibat silau oleh perilaku tak terpuji. Di saat rakyat memplesetkan demokrasi sebagai aktivitas berdemonstrasi kendati tahu dan sadar tak akan mendapat solusi, para pejabat negeri juga memplesetkan demokrasi sebagai aksi sarana mencari sensasi. Semua berkicau, tuduh menuduh dan menganggap diri paling benar, seperti ungkapan Bapak “khairul jasmi” bak Murai Batu saja mereka berkicau.

Rakyat tahu bahwa seluruh protes mereka pada kenyataannya hanya berpangkal tapi tak berujung. Tapi “siapa itu rakyat ?” menjadi pertanyaan serius juga akhir-akhir ini. Bayangkan bila se-kelompok orang tertentu serta merta mengklaim diri sebagai rakyat yang sesungguhnya atau mengklaim diri sebagai representasi rakyat Indonesia dari Sabang sampai Merauke kendati di saat mereka membakar kantor polisi, merusak fasilitas umum, mengusir para pengusaha yang telah mempekerjakan mereka, atau berteriak di jalanan dengan modal dari sang provokator. Inilah telenovela yang paling tidak lucu di negari ini.
Sangat sulit di mengerti, semua jajaran di negeri ini tak mau ketinggalan untuk berbicara, atau berpotret ria. Semua demi eksistensi diri. Baik itu di tv, radio, media massa lain seperti surat kabar. Semua ingin turut andil bagian. Apa sebenarnya yang tengah terjadi? negeri ini seakan terlahir untuk sejuta sensasi, dan semua yang terjadi di negeri ini di umbar di berbagai media massa hingga Negara-negara tetangga tahu semua tentang Negara kita. Benarkah ini arti demokrasi, ataukah hanya sejuta sensasi?
Faktanya kepada rakyat, baik yang aktif berdemonstrasi atau lebih suka melakukan aksi nyata bagi negeri ini, para pejabat pemerintah berulang-ulang meminta agar rakyat bersabar, karena demokrasi adalah proses dan bukan ujung dari setiap pembangunan sebuah negara. Entah siapa yang benar dan siapa yang hanya merasa diri benar! Haruskah selalu seperti ini? (Era Susanti)

Rabu, 21 Maret 2012

Puisi Era Susanti


Pelangi hatiku
Jalan-jalan yang ku lalui
Berubah jadi bingkai-bingkai masa lalu
jarum-jarum jam pun berangkat dan berhenti
Memacu usia kenakalanku,melucuti tingkah liarku

Pada sunyi tangisku
Angin meniup airmataku yang tumpah tak bermuara...

Tapi tak jadi ku tangisi airmata
Karena bunga mimpi masih bermekaran di benakku
Tanah gersang ku sulut dengan wangi bunga impian
Setangkai mawar kembali ku kenang

warna airmatamu...
Bak pelangi yang mewarnai hatiku
Hingga tak lagi ku pedulikan luka
yakinku,kita akan bahagia bila saatnya tiba...



Jangan Menangis,Kakakku...!!!

Ketika malam berombak dan semakin larut
Ku pandangi langit dan semesta
Diam bulan diam bintang begitu perih
Tak satu pun bergerak menjawab tanyaku

Tangismu jadi kalung emas di tiang-tiang airmataku
Dan tanpa kau tahu, ku kalungkan di menara hatiku
Sebagai medali kesedihan
Geliat resah semakin mengguncang bathinku

Ah malam tlah berlalu, gelap pun tlah berganti terang
Mengakhiri tanyaku dengan jawabku sendiri
Hentikan, jangan tangisi lagi tangismu!
Karena saat desember berakhir, selalu lahir januari

Kau Harus tahu kakakku,
Gelombang hanya lahir di lautan dan kembali ke lautan
Di sana, di ujung jalan yang gersang dan berkabut itu
Kau kan temukan hujan salju

Dan di sini kakakku,
Aku menyaksikan sungai terus mengalir
jarum jam pun terus memutar tanpa letih
Tersenyumlah, jangan menangis lagi...!!!




Rindu

Ketika burung-burung mencakar kerinduanku
Aku masih mencari bayangmu dalam tangis
Bersama malam-malam diam
tapi yang ku temukan hanya kabut dan lilin yang padam

Sulut api jiwaku mendesis
Melukai mataku dengan keperihan
Gerimis mengeluh,menggigil di antara kegelisahan dan kepasrahan
O butir-butir rindu hanya bisa ku baca dengan airmata

Adakah kau lihat desau letihku?Menerjal,mencuram,mencadas...
Alangkah dalam makna menunggu bagiku
Sebab aku gagal menyelami lubuk hatimu
Sang waktu tlah merenggut dan membawamu berlalu meninggalkanku....

Tapi tak ingin ku sesali
Meski kau tak lagi di sini...
Rindu ini tak bertepi
Dan akan slalu mengabadi......!!!

Hujan
hujan...
kau ingatkan lagi aku akan masa lalu itu
sesuatu yang tak pernah bisa
ku hapuskan dari ingatanku
hujan...
kau seolah mewakili tangisan hatiku
Luka ini terlalu dalam
ingin rasanya
ku menjerit pada dunia
mengapa ini harus terjadi pada
ku...???
Tak ada seorangpun yang mengerti
Tak ada seorangpun yang peduli
akankah selalu seperti ini...??
biarlah
ku pendam sendiri,
sedih ini,
derita ini,
luka ini,
hujan kemarin.....!!!!
 
 
IBU
ku coba tafsirkan hujan yang turun dari lukisan air matanya,
awan masih mengarak rinduku pada lentik bulu matanya yang mulai luruh
dan di situ,
ku lihat api do'anya membakar kemarau

ku baca juga kerut keningnya yang mulai keriput
seakan mata angin yang membawaku pada jalan yang hendak ku tuju
ya,
wanita itu denyut nadiku
detak jantung yang mengaliri darah keseluruh penjuru tubuhku

ibu....
acap kali ku saksikan muara pada matamu,
darah dan air matamu tumpah kejurang-jurang diam
ingin kuketukkan jemari di pelupuk matamu,
tapi begitu sampai di depan pintu muara,aku selalu ragu
dan ketukan-ketukan itu kian menjauh dari tanganku

ibu....
aku sadar sungguh,di balik muara matamu
hujan senantiasa menyuburkan bathinku yang meranggas pilu
dan membendung gelombang yang akan menghanyutkan hidupku

Tentang Penulis:
Era Susanti, Lahir di Koto Baru 20 Desember  1991. Berasal dari Seberang Piruko, Kec. Koto Baru, Kab. Dharmasraya. Sekarang bergiat di Padang, Menimba ilmu di Jurusan Bahasa Dan Sastra Indonesia Dan Daerah Universitas Negeri Padang.
e-mail: cecebelu_ajee@yahoo.co.id


Jumat, 16 Maret 2012

Aummm........Beruang Sungguh Mengerikan,attuutt....


Beruang dan Ber-Uang
Beruang adalah hewan bagak. Beruang hewan yang sangat berbahaya, ia sangat garang. Besar, bertaring, kuat dan memiliki kuku yang tajam. Selain itu indra pendengaran dan penciuman yang ulung membuat beruang mampu mendeteksi keberadaan mangsa. Beruang termasuk salah satu penguasa hutan, sang raja rimba belantara. Beruang termasuk salah satu hewan yang dilindungi negara, karena spesiesnya hampir punah.
 Meskipun terlihat menakutkan, namun beruang bukan hewan yang rakus,beruang berjiwa bijaksana dan sabar. Ia tidak mau makan sembarangan saja, beruang memilih. Daging adalah makanan paforitnya.
Berbeda dengan kita manusia, Apa saja kita makan. Sayur, daging, buah, semua kita makan. Gak penting rasa, darimana asalnya, yang penting paruik kanyang. Begitu yang kita lihat dan dengar sehari-hari. Beruang jauh lebih bijaksana dan penyabar dari kita. Jika sudah seperti ini, apa kelebihan kita dari hewan?
Bacarito mengenai beruang, saya teringat dengan kaum Ber-uang di negeri ini. Mereka tidak sama dengan beruang yang saya ceritakan tadi. Tapi kalau soal berkuasa, itu iya mereka. Mereka seenaknya saja berbuat, tak ada mereka bijaksana seperti beruang. Kaum Ber-uang itu rakus, tak ada mereka pilih-pilih. Apa saja mau mereka lakukan, yang penting menguntungkan bagi dirinya. Rekening Banksakunya tambah banyak. Tak pernah mereka memikirkan nasib sesamanya. Padahal di negeri ini banyak sekali rakyat miskin yang sangat membutuhkan uluran tangan dari mereka.
Begitu juga dengan para pejabat yang katanya bekerja untuk rakyat, semakin banyak saja mereka yang korupsi. Mereka tak ada malu mencuri uang rakyatnya, padahal yang memberikan jabatan kepada mereka itu rakyat.
Dulu sebelum dapat jabatan, iya. Peduli sekali kelihatannya mereka kepada rakyat, ribuan janji “kalau saya terpilih, ini...itu...” manis sekali kedengarannya. Tapi sekarang buktinya tak nampak, jangankan menepati janji, pedulipun tidak mereka terhadap rakyat. Mungkin,” mati se lah kalian” katanya. Jika kita mati semua, barulah senang hati mereka.
Ingat juga saya, kalau pas kampanye itu gak tanggung. Kelihatannya meyakinkan sekali, visi dan misinya Wah. Janji “Demi Bangsaku” mengumbar dari Sabang sampai Merauke. “Demi Bangsaku, Apapun Akan Ku Perjuangkan. Bangsaku Jaya, Rakyat Sejahtera. Hidup Bangsaku”. Terperangah lah rakyat dibuatnya. Sebenarnya tak salah juga mereka itu. Kan benar sekarang mereka melakukan apapun demi “bank-saku”nya. Tanah dijual, air dijual, tanah air dijual uangnya masuk ke rekening “bank-saku” tak pernah sampai ke rekening negara.
 Jika dipikir-pikir parah juga tragedi “bank-saku” ini. Pusing kepala di buatnya. Besok kalau pemilu, ada kandidat yang mempunyai visi dan misi yang mengusung “demi bangsaku” tak usah sajalah di pilih. Dari pada kecewa juga rakyat jadinya, sebaiknya semua janji, sumpah yang menggunakan kata “bangsaku” diganti sajalah dengan kata yang lain, seperti negaraku, indonesiaku, daerahku, provinsiku, atau kabupatenku. Kan lebih pasti juga kelihatannya sedikit.
Kembali lagi pada Beruang dan kaum Ber-uang memang jauh berbeda, beruang walaupun menakutkan namun ia bijaksana dan sabar sedangkan kaum Ber-uang di negeri ini tidak seperti itu saya lihat. Mereka seenaknya saja menindas rakyat kecil. Di negeri ini keadilan dan kebenaran seakan hanya menjadi milik kaum Ber-uang. Pedang hukum yang dibuat tajam, malah tumpul oleh kaum Ber-uang. Namun kembali tajam kepada rakyat biasa. Kaum Ber-uang begitu dilindungi, sama dengan beruang hewan langkah itu.
Kebobrokan, kebusukan, kebohongan, kemunafikan, kekotoran, dan kejahatan dimonopoli oleh kaum Ber-uang. Haruskah kaum Ber-uang tetap dilindungi? Jelas-jelas mereka tengah berusaha mengobrak-abrik untuk menghancurkan negeri ini.
Sudahlah, sampai di sini saja. Takut juga saya membahas hal seperti ini, takut saya di cakar dan dimakan Beruang. Ini urusan mereka yang berpendidikan tinggi. Mulai sekarang hati-hati sajalah kita dengan kaum “Ber-uang” dan janji politik “Demi Bank-saku.” Kalau jalan-jalan ke kebun binatang saya sangat senang, di situ saya melihat beruang. Meskipun beruang itu garang, tapi imoet! Saya telah lama sekali tidak jalan-jalan ke kebun binatang.(Era Susanti)

Sabtu, 10 Maret 2012

Kartini Di ambang Jurang


Kodrat wanita sebagai makhluk paling mulia di dunia ini tidak bisa di pungkiri, sebab dari rahimnyalah terlahir anak-anak yang hebat, di rahimnya terlahir para pemimpin, para penguasa dan ahli ilmiah serta agama. Namun wanita juga disebut sebagai makhluk yang paling misterius, karena wanitalah dunia ini menjadi ramai. Namun disatu sisi terkadang wanita kebanyakan jadi obyek semata untuk menyenangkan hati para pria. Emansipasi wanita yang kebablasan yang menyalahi norma agama dan norma budaya Indonesia justru menempatkan wanita pada posisi penderitaan.
Namun dewasa ini realita wanita tak lagi mencerminkan kodratnya, maraknya aksi pelanggaran nilai,norma dan agama yang dilakukan oleh kaum Hawa. Muncul anggapan bahwa tidak mengikuti perkembangan zaman adalah wanita kuno. Sulit sekali menemukan sosok Kartini yang dijadikan logo wanita Indonesia. Wanita yang tampil anggun dengan kebaya, berpakaian sopan, memiliki budi pekerti yang luhur, memiliki darah juang yang tinggi serta peduli terhadap sesama. Sekarang tak nampak lagi pada Kartini Indonesia. Yang ada saat ini adalah wanita matrealis, berpakaian minim dengan menonjolkan lekuk tubuhnya. Ini yang disebut wanita karir, menenteng tas bermerek, sepatu hak tinggi serta rok sepaha tambah belah di belakang. Kata emansipasi telah disalah kaprahkan.
Era sudah berubah, modernisasi telah mengubah hidup dan kehidupan wanita-wanita Indonesia, telah terjamah oleh dunia pendidikan yang tinggi, kebebasan berbicara dan berkarya, menjadi pemimpin dan pengusaha. Membuat banyaknya wanita lupa akan kodratnya, menjadi panutan. Sejatinya wanitalah yang menguasai dunia ini, suatu masyarakat akan rusak bila wanitanya rusak. Di era modern dan globalisasi seperti sekarang ini sulit sekali menemukan sosok wanita yang mulia seperti kodratnya.
Lalu apa yang menyebabkan para Kartini saat ini seakan berada di ambang jurang kehancuran? Kehilangan jati diri sebagai orang yang harus diteladani, haruskah pengaruh globalisasi barat selalu dikambing hitamkan? Itu bukan alasan yang tepat, karna sesungguhnya apapun yang kita lakukan adalah murni dari hati kita sendiri, takkan ada seorangpun yang mampu merubah seseorang kecuali keinginan tulus dari dirinya sendiri. Stop tuduh menuduh, intropeksi diri dan pilah-pilihlah budaya yang hendak di tiru, cocok atau tidaknya dengan kebudayaan bangsa kita.
Wahai para Kartini muda harapan pelita bangsa, mari kembali menata diri, tak perlu takut dianggap kuno, tapi takutlah untuk melakukan hal-hal yang akan bisa merugikan terutama diri kita sendiri. Lihatlah, sederet kasus pelecehan terhadap wanita saat ini. Kekerasan, pemerkosaan, pembunuhan, itu semua sebenarnya terjadi karena ulah kita sendiri. Yang memakai sesuatu yang dapat mengundang hal-hal tersebut terjadi. Mari berbenah agar kaum Hawa kembali di segani dan di hormati, menjadi sosok Kartini sejati yang mampu mengangkat derajat wanita Indonesia. Sosok anggun yang begitu di segani dan dihormati, sosok yang sangat peduli dan sadar akan kodratnya. sebaik-baiknya wanita adalah wanita tak pernah lupa akan kodratnya.
Wanita adalah pejuang, pejuang bagi masa depan keluarganya, pejuang bagi masa depan anak-anaknya dan pejuang bagi masa depan Bangsanya. Wanita adalah Tiang yang menopang atap dalam rumahnya, dan Pria adalah Atap yang melindungi dan meneduhkan keluarganya. Mari kembali bangkit Kartini, "Lebih baik menyalakan lilin daripada mengutuk kegelapan." (Era Susanti)

Rabu, 07 Maret 2012

Let's go, artikel's by Era Susanti


Pribadi paripurna, selamatkan masa depan bangsa

Fitrah hidup manusia akan selalu dihiasi kesedihan dan kesenangan. Menyikapi keadaan yang demikian tentunya tidak hanya membutuhkan kecerdasan intelektual saja,tetapi juga membutuhkan kecerdasan emosional dan spiritual agar menghasilkan pola sikap dan pola tindak yang berkualitas untuk kebaikan di masa yang akan datang. Menjalani hidup apa adanya dan tidak ada yang ditutup tutupi adalah sebuah pencapaian hidup yang luar biasa.
Banyak orang yang tidak puas dengan apa yang ada dalam dirinya. Anatomi tubuh, kekayaan, garis keturunan merupakan beberapa hal yang sering dijadikan kambing hitam. Cara berfikir yang terlalu ekstrovert membuat mereka lupa siapa sebenarnya mereka dan malah meniru-niru orang lain. Mereka akan bangga bila orang lain merasa atau menyebut mereka mirip dengan orang yang di tiru. Kata-kata seperti ini dan semacam ini  lah yang setiap hari mereka tunggu-tunggu. Tanpa kata-kata seperti tadi, kehidupan mereka seakan hampa dan tidak diakui.
Pencapaian pribadi paripurna hanya dapat diraih melalui proses ujian yang bertahap sesuai dengan kapasitas, dinamis dan berkelanjutan sehingga berakhir pada satu titik yaitu kepantasan diri mendapatkan kebahagiaan hakiki. Tidak semua manusia bisa menempatkan diri sebagai pribadi yang pantas mendapat kebahagiaan salah satu penyebabnya adalah pola pandang yang salah tentang ujian hidup itu sendiri. Banyak manusia menganggap bahwa ujian hidup hanya dalam bentuk musibah yang buruk-buruk semata padahal nikmat yang baik-baik pun sebenarnya bentuk lain dari ujian hidup. Selain itu begitu banyak juga manusia yang  lupa diri dan sombong dengan kelebihan yang ia miliki. Tanpa adanya kontrol ego yang baik membuat kita melupakan banyak hal. Dan angan-angan yang tinggi membuat mereka menghalalkan berbagai cara. Seperti keedaan bangsa kita saat ini, korupsi merajalela di kalangan para pejabat negeri, mereka tak lagi peduli dengan rakyatnya yang mereka tahu hanyalah bagaimana cara agar bisa mengantongi milyaran rupiah dalam waktu singkat. Hal ini terjadi karna kecerdasan IQ yang tidak diimbangi dengan kontrol emosi dan spiritual.
So, sebagai generasi penerus bangsa mari kita sejenak merenungkan bagaimana nasib bangsa kita ke depan apabila keadaan kita masih seperti saat ini. Kita harus bertindak dan meluruskan kembali jalan kita yang tlah berada di jalur yang salah. Mari dengingkan pribadi paripurna, menjadi manusia yang mampu menyeimbangkan antara kecerdasan IQ, EQ, dan SQ kita agar kita bisa meraih kebahagiaan hakiki dunia dan akhirat. Lihatlah, negeri kita yang dulu ibarat surga yang indah, tenang dan tentram kini tlah berubah menjadi surga bencana, kekerasan, kekacauan, kebohongan terjadi dimana-mana. Mulai dari kalangan atas, sampai kalangan bawah. Dari yang kecil sampai yang besar, dari yang bodoh sampai yang pintar. Seakaan-akan semua membuat celah untuk untuk menghancurkan negeri ini. Sadarkah kita kini di amabang kehancuran? Mari bergerak, berubah ke arah yang lebih baik sebelum kita benar-benar hancur. Pribadi paripurna, selamatkan masa depan bangsa!