Jejak
Kemegahan Kerajaan Melayu Di Dharmasraya
Kabupaten
Dharmasraya merupakan salah satu dari tiga Kabupaten baru hasil pemekaran Kabupaten
Sawahlunto/Sijunjung pada tanggal
7 Januari 2004. Secara geografi Kabupaten Dharmasraya berada di ujung Tenggara
Provinsi Sumatera Barat, dengan topografi daerah bervariasi antara berbukit,
bergelombang dan datar dengan variasi ketinggian dari 100 m - 1.500 m diatas
permukaan laut.
Meski masih berusia muda, kabupaten Dharmasraya menyimpan sejuta pesona. Dari
sini sekitar abad 11 Masehi
lembar sejarah Kerajaan Melayu bermula. Peninggalan-peninggalan arkeolog seperti candi, artefak,
mesjid, makam raja-raja dan rumah gadang menjadi saksi bisu sejarah Kerajaan Hindu-Budha dan Islam di Kabupaten pemekaran ini.
Nama
Dharmasraya mungkin tak sepopuler Kota Padang, pun tidak setenar Bukittinggi
dengan Jam Gadangnya. Namun di kabupaten hasil pemekaran ini tersimpan
situs sejarah Kerajaan Melayu yang bernama “Dharmasraya” yang sekarang menjadi
salah satu Kabupaten di Sumatera Barat. Negeri yang terletak di perbatasan
Sumbar dengan Jambi ini menjadi saksi bisu kebesaran Kerajaan Dharmasraya pada
masa dahulunya. Meski Kerajaan itu telah lama runtuh namun jejak kemegahan
masih bisa ditemukan di Dharmasraya, tepatnya di Siguntur Kecamatan Sikabau
Kabupaten Dharmasraya.
Candi-candi
peninggalan Kerajaan Melayu yang bersemayam ratusan tahun di Kabupaten
Dharmasraya itu bisa dinikmati secara gratis. Untuk menembus kemegahan kerajaan
Melayu di Dharmasraya, jika berada di Padang bisa di tempuh dengan perjalanan
darat sekitar 8 jam perjalanan dengan angkutan umum seperti bus yang ongkosnya
hanya 30 ribu rupiah, namun jika menggunakan kendaraan pribadi hanya membutuhkan
waktu paling lama 6 jam saja, dan kita bisa memanjakan mata serta menyaksikan
sejarah kemegahan Kerajaan Melayu pada masa dahulunya.
Bangunan candi di Dharmasraya, yang hampir
seluruhnya tidak utuh, merupakan salah satu simbol kejayaan Kerajaan Melayu yang mulai
menyeruak di Swarnnabhumi, sebutan lain untuk Sumatera, setelah kekuatan
Kerajaan Sriwijaya di Palembang terdesak akibat serangan Kerajaan Koromandel di
India, yang ketika itu diperintah Rajendra Chola sekitar abad ke-11. Waktu itu,
pusat Kerajaan Melayu masih di Jambi.
Kejayaan Kerajaan Melayu Dharmasraya
menyisakan sejumlah peninggalan bersejarah. Ketenaran Kerajaan Melayu sewaktu
bertahta di Dharmasraya masih bisa dilihat dengan adanya sejumlah candi di tepi
aliran Sungai Batanghari. Candi itu antara lain Candi Padangroco, Pulau Sawah,
serta Rambahan.
Bentuk dan
bahan pembuat candi di Dharmasraya ini mempunyai kemiripan dengan Candi Muara
Jambi di Provinsi Jambi serta Candi Muara Takus di Kabupaten Kampar, Provinsi
Riau. Diduga, sekitar daerah itu juga masih tunduk di bawah Kerajaan Melayu. Candi
di tepi Batanghari ini tidak semewah Candi Prambanan yang berhiaskan ukiran di
sepanjang sisi dindingnya. Pun, tidak terdapat patung Buddha seperti di
Borobudur. Candi yang dibuat pada masyarakat Hindu-Buddha tantris ini tersusun
dari batu bata.
Tidak ada
semen untuk merekatkan bata. Teknologi zaman dulu memanfaatkan air dan gesekan
dua bata untuk mengencangkan cengkeraman batu-batu dari tanah ini. Ukuran batu
bata candi umumnya lebih besar dibandingkan batu bata bangunan masa kini. Di
Candi Padangroco, misalnya, batu bata yang menyusun candi buatan sekitar abad
ke-13 itu bisa berukuran sekitar 20 x 30 sentimeter. Ketebalan bervariasi,
bergantung pada kebutuhan.
Candi induk Padangroco dibuat dengan batu bata yang relatif tipis, sekitar
4 sentimeter. Mungkin, alasan bentuk candi yang semakin beragam menuntut adanya
bahan bangunan yang relatif fleksibel untuk mengikuti kebutuhan arsitektur.
Ketebalan bata pada candi induk berbeda dengan candi perwara yang digunakan
sebagai altar persembahan. Padahal, candi- candi ini masih terletak satu
kompleks. Di sinilah terlihat pertimbangan arsitektur yang begitu detail pada
masa itu.
Sebuah arca bernama Rocok ditemukan di sekitar candi ini. Arca setinggi
sekitar 4,5 meter dengan berat lebih dari 4 ton itu diperkirakan berusia enam
abad. Kini, arca, yang sebelum ditemukan oleh para ahli digunakan untuk batu
asahan oleh penduduk sekitar, berdiri tegak di Museum Nasional, Jakarta.
Pesona Dharmasraya tidaknya hanya sebatas peninggalan-peninggalan
kerajaannya saja, tapi juga sumber daya alamnya yang kaya seperti kelapa sawit
dan karet. Jika berkunjung ke Dharmasraya, maka di sepanjang jalan lintas
sumatera yang membelah kabupaten Dharmasraya terlihat pemandangan yang sangat
memanjakan mata. Kebun sawit dan karet berjejer rapi.
Jika ada
waktu luang, atau hari libur berkunjunglah ke Dharmasraya, sambil mengingat sejarah bisa juga menyejukkan
pemikiran dari setumpuk masalah dengan menikmati pesona keindahan alamnya dan
“Anda Memasuki Kabupaten Dharmasraya Dan Nikmati Keramahtamahan Kami..” itulah
Slogan saat anda memasuki Kabupaten Dharmasraya.(Era Susanti)