Karena Mak, dan Demi Mak
Era Susanti
Samudera nampaknya begitu lapar. Menelan bulat-bulat
sang mentari, hingga sinarnya tenggalam di dasar lautan. Senja itu Kartini
pulang, berlari menembus gemuruh di tengah hujan badai.
Kartini: “ Mak…
Mak… Tini pulang, bukain Tini
pintu mak..!!!
Mak:
“ uhuk...huk...iya, tunggu sebentar nak...”
Kartini pulang basah kuyup senja itu, mak membukakan
Kartini pintu sembari berkata:
Mak: “ kenapa gak ditunggu dulu hujannya redah baru
pulang piak, nanti sakit. Mak gak punya uang untuk bawa kamu berobat ke rumah
sakit.” Upiak, begitulah Kartini dipanggil ibunya. Upiak merupakan panggilan sayang orangtua kepada
anak gadisnya di Bumi Ranah Minang.
Kartini: “ Tini bukan gadis manja mak, tini ini kuat.
Tini sudah tahan banting, mak gak usah khawatirkan Tini. Penyakit gak kan mau
menghinggapi tubuh tini, gak betah dia mak.haha...oya, mak udah makan? Nih, Tini
bawain sate “Balikan Awak” kesukaan
mak. Tadi penghasilan Tini lumayan, karena hari pasar banyak kendaraan pribadi
parkir. PEMDA cukup lihai sepertinya membaca sitkon, hari pasar dibuat pas hari
libur. PNS dan ibu pejabat di sini masih menggemari pasar tradisonal, mungkin
karena belum ada mall seperti di kota-kota besar itu. Tapi tak lagi 5 atau 10 tahun
nanti, karena Kabupaten hasil pemekaran ini akan semakin maju. Kalau sudah ada Super Market atau mall pasti pasar tradisonal akan kehilangan pesonanya.”
Mak: “ ah, kamu bisa aja piak. Belum tentu, mana tau
ibu-ibu PNS dan ibu pejabat itu sudah terlanjur jatuh cinta pada pasar
tradisional karena selain harganya yang murah, juga masih bisa ditawar dan
kualitas barang yang diperjual belikan juga bagus. Seperti sayurannya
segar-segar, ikan dan danging begitu bervariasi dan buah-buah yang dijual juga
tak kalah kualitasnya dengan buah import
yang dijual di mall-mall. Hanya
tempatnya saja yang berbeda.” Celoteh mak sambil membuka dan melahap sate yang
dibawakan Kartini untuknya.
Kartini: “ mak kan gak tahu, bagaimana hidup orang kaya.
Mereka itu suka yang instan mak. Gak
seperti kita rakyat miskin ini. Bagi mereka harga gak penting, yang penting
kualitas dan pelayanan. Mana mau mereka pergi ke pasar tradisional yang jika
hujan beceknya minta ampun. Lumpur bisa menggerogoti sepatu mengkilap mereka.
Bagus lah pergi ke mall, yang
tempatnya mentereng, aromanya begitu menggoda serta desain yang memanjakan mata. Soal harga mana mereka peduli, tak
seperti kita yang harus mengumpulkan uang receh, hanya untuk bisa membeli segantang beras kualitas paling bawah,
seikat sayur pucuk ubi, dan beberapa
potong tempe di tambah se-ons ikan maco untuk dimasak buat sambal yang
hanya akan ganti menu jika sambal itu tlah kering kerontang. Begitulah mak, di
negeri kita ini nampak sekali perbedaan antara si kaya dan si miskin.”
Mak: “ Mak paham piak, maafkan mak ya? Yang gak bisa
memanjakanmu. Jangankan untuk membelikan semua keinginan dan kebutuhanmu. Untuk
makan sehari-hari saja mak kadang tak mampu mencukupinya. Seandainya saja
ayahmu masih hidup piak, pasti kau takkan semenderita ini.”
Kartini: “ Mak, maafkan Tini. Tini gak bermaksud membuat
mak sedih. Tini bahagia kok, walaupun hidup apa adanya. Karena masih mempunyai
mak, adalah kebahagiaan terbesar dalam hidup Tini.”
Mak
mengusap airmata yang tak mampu ia bendung. Aku
tertegun, dan tak sanggup pula ku bendung airmataku, hatiku seakan teriris menyaksikan badai yang turun dari matanya. Ya, kami
sama-sama larut dalam kenangan tentang sosok ayah. Ayahku adalah seorang suami
yang baik untuk ibu, dan ayah yang bertangggung jawab untukku dan sangat
menyayangi kami. Aku ingat waktu dulu
ayah masih hidup, subuh-subuh ayah sudah bangun, shalat subuh langsung ke pasar
tanpa sarapan, berpacu menampakkan sinarnya dengan sang fajar. Begitulah ayah,
ia adalah sosok pekerja keras. Ayahku dulu adalah seorang tukang angkut di
pasar tradisional, dengan menungggangi becak ia menawarkan jasa angkut kepada
pedagang-pedagang di pasar.
Namun suatu hari ayahku yang sangat kuat itu, ku saksikan
terkapar di tengah jalan raya, darah mengalir deras di kepalanya. Sederas
aliran sungai yang membatasi kampungku dengan pasar tradisional itu. Menurut
saksi mata, ayah di tabrak sebuah truk yang tak bertanggung jawab. Sopir truk
itu melarikan diri, dan penduduk yang terperangah melihat kejadian itu juga tak
sempat mencatat plat nomor truk tersebut. Maka jadilah ayahku korban tabrak
lari, yang merenggut nyawanya di tempat. Darahku seakan berhenti mengalir saat
menerobos kerumanan massa yang menyaksikan ayahku terkapar sudah tak bernyawa.
Dan ibuku yang waktu itu di rumah, mendapat kabar tentang ayah langsung pingsan
tak sadarkan diri hingga beberapa jam. Kejadian itu masih terekam jelas di
benakku. Kejadian yang merenggut kebahagiaan aku dan ibu.
Saat ini
aku hanya mempunyai ibu, dan ibu hanya punya aku. Ya, memang hanya ada aku dan
ibu saat ini, karena aku anak tunggal yang tak berkakak dan tak beradik. Karena
itulah, ibu selalu kesepian saat aku berangkat ke pasar melakoni peranku sebagi
tukang parkir. Sedangkan ayah, aku sangat yakin ia tlah berada di tempat
terindah. Tempat yang telah di persiapkan TUHAN untuk orang-orang pilihan.
Orang yang semasa hidupnya mampu bertanggung jawab atas kodratnya sebagai khalifah di muka bumi ini. Ya, ayahku
adalah orang yang sangat bertanggung jawab dan patuh terhadap semua perintah
TUHAN. Pernah sekali dulu, ayah sakit parah namun ia tetap melaksanakan sholat.
Ayah sangat sering puasa senin dan kamis. Ia selalu menjadi imam aku dan ibu
saat shalat maghrib, isha dan subuh. Begitulah ayahku, aku sangat
merindukannya. Namun kejadian tabrak lari itu, membuat ia harus meninggalkan
kami untuk selamanya. Aku sangat merindukan ayah.
*****
Pagi ini
aku tidak pergi ke pasar, karena kurang enak badan. Aku berpesan pada mak yang
hendak ke warung untuk mengatakan pada uda ujang bahwa hari aku tidak bisa ke
pasar. Uda ujang adalah temanku sesama tukang parkir, kami selalu membagi dua
wilayah pasar yang dijadikan tempat parkir. Kadang aku di selatan, uda ujang di
utara. Begitu sebaliknya, begitupun hasilnya kami bagi rata. Tak begitu lama
mak ke warung, karena mak ke warung hanya membeli korek api untuk menghidupkan
tungku, sebab korek api mak sering kali dihanyutkan air saat hujan.
Mak: “ sudah mak sampaikan pesan kamu pada ujang piak,”
Mak masuk ke dalam bilik sambil memastikan keadaan
Kartini, suhu badan Kartini sangat panas.
Mak: “ ya ALLAH piak, badan kamu panas sekali. Sudah
berulang kali mak katakan. Kalau hari hujan, kamu jangan menerobos langsung
pulang. Tunggu hujannya redah dulu. kalau mau mendengar yang mak katakan, kamu
takkan sakit. Ya sudah, mak carikan kamu obat dulu ke warung.
Kartini: “ mak, tini gak apa-apa, Tini Cuma demam
sedikit. Gak perlu di obat, paling bentar lagi sembuh sendiri.” Kartini
memegang tangan maknya, dan melarang mak nya yang hendak membelikannya obat.
Mak: “ piak, saat ini mak hanya mempunyai kamu. Bapakmu
tlah lama pergi meninggalkan mak. Mak gak mau kehilangan kamu piak, hanya kamu
yang membuat mak kuat menjalani hidup ini” mak menangis tersedu-sedu.
Kartini: “ mak, sampai kapanpun. Tini takkan pernah
meninggalkan mak. Kita akan selalu bersama, tini ini kuat mak. Sekuat ibu
Kartini, sekuat pemilik nama yang mak berikan pada tini. Mak yang tenang,
jangan panik, jangan khawatir. Tini gak kenapa-kenapa. Hanya demam sedikit, dan
tak perlu obat. Bentar lagi juga sembuh.”
Maknya
memeluk Kartini erat-erat, seakan tak ingin anak semata wayangnya itu juga
pergi meninggalkannya. Meninggalkannya sendiri, dalam sunyi yang ia jalani
semenjak suami tercinta meninggal. Kartini tak sanggup menahan tangis, dan ia
pun memeluk mak nya erat-erat.
Kartini:” Tini janji, takkan pernah meninggalkan mak.
Tini akan selalu bersama dan menjaga mak selamanya.”
Mak: “ Kamu janji, akan bertahan dan selalu bersama mak?”
Kartini: “ iya, Kartini janji mak!”
Keduanya
kembali berpelukan, bak sepasang kekasih yang tlah lama memendam rindu. Seperti
sahabat yang tlah lama tak bertemu, dan di pertemukan dalam situasi yang haru.
*****
Ternyata
benar yang di katakan Kartini pada maknya, penyakit tak betah berlama-lama di
tubuhnya yang kekar itu. Meski terlahir sebagai wanita, Kartini sangatlah kuat.
Dan hari ini Kartini tlah kembali ke pasar menjalani perannya sebagai tukang
parkir. “Kiri....kiri....kiri...stop...” teriak Kartini memberi aba-aba kepada
pemilik kendaraan yang hendak parkir dan kepada pemilik kendaraan yang hendak
meninggalkan tempat parkir, sambil merogoh kocek 2ribu russpiah. Dan seulas
senyuman, pertanda terimakasih.
(Kekaguman Penulis Pada Sosok Ibu Kita KARTINI, membuat penulis begitu terinspirasi menggunakan nama tokoh Kartini dalam Cerpen ini, Begitu juga dengan beberapa Artikel yang pernah penulis tulis dengan Tema Wanita selalu mengangkat topik tentang Perjuangan Ibu Kartini, sang pelopor "Habis Gelap Terbitlah Terang" yang telah berjasa mengangkat derajat wanita Indonesia di mata Dunia, Terimakasih ibu Kartini...!!!)