Selasa, 22 Mei 2012

Negeri Syurga tlah menjadi masa lalu-Era Susanti artikle's


Ada Apa Dengan Negeri Syurga (Indonesia)?

Bencana besar seakan tak henti mengintai negeri yang konon katanya “Negeri Syurga” ini. Bukan hanya tsunami yang bersumbu pada gempa berkekuatan 8,5 skala Richter seperti yang terjadi di Aceh beberapa pekan lalu. Kemelut politik akibat kebijakan sepihak yang mengakibatkan ketidakpuasan masyarakat dan keterpurukan ekonomi akibat banyaknya hutang negara atau pemerintah salah kelola dana seakan menjadi kisah yang tak berujung di bumi pertiwi.

“Mungkin alam sudah bosan, bersahabat dengan kita. Coba bertanya pada rumput yang bergoyang?” (Lirik lagu Ebiet G. Ade). Alam semesta sekarang seakan selalu mengancam negeri ini, mungkin mereka bergumam “Kami sudah siap menghancurkan kalian! Ada apa sebenarnya dengan Negri kita ini, mengapa negeri kita terus dilanda bencana dan bencana lagi? Kemiskinan, kelaparan dan segala jenis keterpurukan merajalela? Ada Apa Dengan Negeri Syurga (Indonesia) ini ? Alam seakan tlah enggan bersahabat dengan kita kawan.

Telah banyak analisa tentang semua ini. Namun tidak ada satu kesimpulan pun yang sampai pada titik pokok pangkal penyebab terbesarnya. Namun mungkin hal ini terjadi Sesungguhnya dikarenakan kita telah melenceng dari rel , kita tak lagi berjalan di batas  Bahkan ada yang sampai pada titik luar yang di ajaran Agama Lillahita’alah. Inilah keterpurukan rohani terbesar yang berdampak kepada keterpurukan dunia secara merata. Islam yang dianut tidak murni lagi seperti awal-awal generasi terbaik, yaitu generasi para sahabat Rasullullah. Pembangkangan dan pemalsuan agama telah mendominasi di negeri ini.

Kita baru akan sadar dan mengerti tentang persoalan besar ini ketika kita mau mencoba merenung sedikit tentang apa yang telah perbuat selama ini. Lalu kita sebagai generasi muda tumpuan bangsa, akankah berdiam diri saja atau sekedar mengintip dari kejauhan kawan? Sebagai generasi muda yang berkecimpung di dunia intektual, kita lah sumbu penyelamat Negeri ini kedepan. Akankah kita biarkan Negeri yang kita cintai ini, Negeri yang di anugerahi keindahan alam yang luar biasa ini hancur berkeping-keping bak debu beterbangan dalam kekhufuran dan kemurkaan ALLAH? 

Tak ada waktu untuk berdiam diri, mari bangkit dengan kembali ke jalan Islam yang murni, Sirotulmustaqim. Berbenah menuju masyarakat Islami, masyarakat yang pasti mendapatkan janji-Nya berupa keberkahan dan keamanan. Mari tempatkan diri pada posisi yang benar.  Menjalankan peran pemuda apalagi mahasiswa sebagai subjek penggerak perubahan, pencipta ide kreatif, sekaligus objek yang akan menjadi contoh nyata dalam perubahan tersebut. Menjalankan segala sesuatunya dalam alur Islam murni, bukan topeng atau imitasi semata. Demikian harusnya para kita berperan dalam masyarakat. Kita sebagai pamuda, memiliki tugas yang extra dalam menjalani peran tersebut. Imbang. Harus seimbang dalam menjalani kehidupan dunia, sekaligus dalam hubungan dengan sang Kholiq. Kekuatan yang diperoleh dari hubungan dinamis ini adalah pengaruh luar biasa yang akan dengan luar biasa pula memengaruhi orang-orang di sekitar kita. 

Mari Berjuang dengan cara Islami yang murni untuk mengembalikan Negeri ini pada posisi awalnya sebagai Negeri Syurga nan Indah dan jauh dari bencana, mari pupuk kembali kejujuran yang tlah layu dikalangan pemuda bangsa, mari berbenah dari segala sesuatu yang salah, stop import budaya dan agama imitasi dari barat, mari hadir kembali dengan jati diri bangsa seperti dahulu kala. Bangsa yang kuat, bangsa yang berakhlak dan bangsa yang menjunjung tinggi nilai, norma dan agama.

Niscaya jika kita tidak keluar dari jalur yang telah di tentukan, apapun bentuk bencana yang mengintai. Kita akan selamat atas izinNYA. Mari wujudkan perubahan yang di idam-idamkan bangsa Indonesia selama ini yaitu terwujudnya kemerdekaan, kebersamaan, ketuhanan yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kedaulatan rakyat, dan yang terakhir adalah keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, sebagaimana termaktub dalam konstitusi negara kita yang merupakan cita-cita besar dari sebuah perubahan.

 Indonesia ini haus akan kebenaran dan kejujuran, sebagai pemuda yang merupakan tonggak perubahan, mari mencoba berbuat dan memberikan sesuatu untuk negeri. Wujudkan impian, dan berikan yang terbaik untuk negeri. Mari kita kembalikan jati diri negeri ini, Negeri Syurga yang Islami menuju kebahagiaan hakikih. (Era Susanti)




Dapek piti banyak...???cihuyy.....(Pesona Rupiah-Artikel)


Pesona Rupiah Begitu Menggoda

Rupiah. Siapa yang tak kenal dengan sosok ini, kepepulerannya menjalar keseluruh plosok negeri. Hampir semua jajaran memujanya, mulai dari balita hingga manula, yang muda hingga yang tua, yang bodoh hingga yang pintar, yang miskin sampai yang kaya pun pastilah matanya terbelalak (Membesar) apabila menyaksikan rupiah dan telinganya  jongang (melebar) ketika mendengar kata rupiah. Rupiah begitu digilai di negeri ini, ada yang rela melakukan apa saja demi rupiah bahkan ada yang sampai merelakan nyawanya demi mendapatkan rupiah. Gila..sungguh kegilaan yang luar biasa...!!

Tapi kegilaan ini menurut saya wajar, sebab di era yang begitu kejam saat ini. Jika kita tidak mempunyai rupiah (uang) kita tidak akan bisa lagi menikmati indahnya Bumi Pertiwi yang selalu mencoba tersenyum menyambut kita di pagi hari kala menghirup udaranya yang begitu segar meski hatinya tengah terluka karena ulah kita( manusia) yang tak pernah menghargai dan mengerti dengan perasaannya. Kita yang tak tau terimakasih. Setiap hari selalu saja menyakitinya, menguras semua yang ada padanya tanpa batas. Hingga bumi pertiwi menangis. Kenyataan ini sangat mengiris bathinnya(mungkin).

Kenyataan hidup yang harus kita jalani saat ini memang menuntut kita untuk menjalani hidup dengan keras. Kita harus berpacu melawan waktu. Susah? Iya susah. Jujur saja. Hidup di masa sekarang terasa susahnya. Bagi yang tak mau mengakui susah, mungkin saja memang tak merasa susah atau tak mengalami susah. Mungkin memang biasa jika kita melakukan apa saja untuk tetap bertahan hidup, tapi jangan sampai kelewat batas seperti yang terjadi saat ini. Kita harus menyadari bahwa Sang Pencipta yang maha kaya dan maha pemberi takkan pernah menyia-nyiakan hambanya. Karenanya kita jangan sampai dan jangan pernah melakukan segala sesuatunya di ambang batas atau keluar dari karidor yang telah ditentukan olehNYA.
Sulit memang, jika harus berkutik di kehidupan yang sama dan mengalami penderitaan tanpa ada kebahagiaan dan perubahan tapi kita jangan sampai melupakan kifrah dan hakikat kita di dunia, sebagai Khalifah yang segala sesuatunya nanti di akhirat di minta pertanggung jawaban. Lepas dari sulitnya hidup saat ini. Saya kembali lagi pada pesona Rupiah yang begitu menggoda. Selain alasan kejamnya kehidupan, mungkin mendapatkan puluhan, ratusan, jutaan, milyaran rupaiah dengan instan menjadi salah satu alasan mengapa banyak sekali kita yang memilih berjalan di jalur yang salah, keluar dari rel yang telah ditentukan.
Di sini saya sedikit ingin bercerita tentang apa yang saya lihat dan saksikan dengan dua orang teman saya beberapa hari yang lalu. Waktu itu saya dan dua orang teman saya tersebut hendak pergi ke salah satu tokoh buku besar di sini (Padang)  hendak membeli novel terbitan baru yang cetakan pertamanya tahun 2012. dan kami pergi naik angkot. Selang belum beberapa lama perjalanan, angkot yang kami tumpang melewati kawasan tertib lalu lintas (lampu merah) namun sopir angkot tersebut tidak sabar, ia menembus lampu merah yang sekitar 20 detik lagi menuju hijau. Sopir angkot tersebut distop dan disuruh menepi oleh Polantas yang bertugas. Dengan santai sopir angkot tersebut mengikuti apa yang disuruh oleh polantas tersebut.
Kemudian supir angkot itu keluar dari angkotnya membawa uang 10ribu rupiah sembari berkata” tunggu sebentar dek...” kepada kami. Lalu sopir angkot tersebut menemui polisi yang bertugas itu, kemudian menjabat tangan polisi tersebut sambil menyelipkan uang 10ribu rupiah yang ia bawa. Dan dengan senyuman polantas tersebut menyambut salaman sopir angkot, sopir angkot itu kembali ke angkot. Setelah sampai di dalam angkot sopir tersebut kembali menancap gas angkotnya sembari berkata ”sapuluah ribu hargo saragamnyo nyo” kata sopir angkot angkuh, merasa menjadi pemenang sambil tertawa dengan penumpang di sampingnya. Saya dan teman saya hanya tersenyum menyaksikan kejadian itu. Sebab kami yakin, tidak semua polisi seperti yang dikatakan sopir angkot tersebut. Polisi adalah orang yang paling berjasa dalam menjaga keamanan dan pertahanan Negeri ini, dan mereka pulalah yang telah berhasil menangkap para koruptor dan teroris yang meresahkan seluruh rakyat Indonesia. Terimakasih pak polisi...

Begitu dahsyatnya kah pesona rupiah di negeri ini? Mungkin. Pesonanya mampu mengalahkan senyum kembang desa dengan lesung pipik di kanan kiri pipinya. Itu hanya segelintir dari sekian banyak kasus yang membisu dan terpaku bila di hadapkan dengan yang namanya rupiah. Rupiah memang begitu lihai menghipnotis siapa pun yang berani melawannya. Lalu kemana menghilangnya Undang-undang yang menjadi dasar negara, kamana pancasila? Hilang atau di sobek sang Garuda?Hmm...lucu juga negeri ku ini. (Era Susanti)

Selasa, 08 Mei 2012

Artikel's: For Agent Of Change's (by:Era Susanti)


Motto Mahasiswa sang agent of change” 
Agent of Change, begitulah kerap peran mahasiswa dielu-elukan. Pasti masih teringat jelas dalam memori kita bahwa gelar tersebut diberikan bukan tanpa alasan, melainkan karena besarnya lakon mahasiswa dalam perjalanan sejarah tanah air. Merubah era diktator menjadi era kebebasan (demokrasi). Mahasiswa adalah tonggak dari sebuah perubahan. Mahasiswa selalu menjadi bagian dari perjalanan sejarah sebuah bangsa. Pemikiran kritis, dan konstruktif selalu lahir dari pola pikir para mahasiswa. Sikap idealisme mendorong mahasiswa untuk memperjuangkan sebuah aspirasi rakyat kepada penguasa, dengan cara mereka sendiri. Begitulah mahasiswa dulunya, sehingga mereka di agung-agungkan oleh masyarakat.
Namun, apa yang terjadi dengan mahasiswa kini? mahasiswa kini lebih cenderung apatis terhadap masalah-masalah yang melanda bangsa. Hal ini juga dipengaruhi kian maraknya pola pikir kapitalis. Sistem kapitalis yang kian menyeret mereka ke wilayah egosentris. Orientasi mahasiswa pun seakan tlah berubah dari perjuangan demi bangsa ke perjuangan untuk diri sendiri dan kepentingan pribadi.
Akankah pernyataan yang menyebutkan bahwa mahasiswa itu adalah agent of change sekarang hanya sekedar wacana dan tinggal kenangan? Gelar yang selama ini diemban oleh mahasiswa sebagai agent of change mulai harus diintrospeksi lagi. Tentunya introspeksi ini harus dimulai dari mahasiswa sendiri sebagai solusi. Mahasiswa harus benar – benar menyadari posisi strategisnya dan beranjak dari statusnya maka mahasiswa harus berupaya untuk mewujudkan hal tersebut ke dalam sebuah tindakan-tindakan yang rasional dan dewasa. Dan mahasiswa harus memantaskan dirinya pada gelar sang agent of change yang sangat di harapkan oleh masyarakat mampu membawa perubahan bagi bangsa dan negara ini ini. Bangsa dan negara yang haus akan kebenaran dan keadilan.
Sebagai Mahasiswa kita harus menyadari, bahwa ada banyak hal di negara ini yang harus diluruskan dan diperbaiki. Kepedulian terhadap negara dan komitmen terhadap nasib bangsa di masa depan harus diinterpretasikan ke dalam hal-hal yang positif. Tidak bisa dipungkiri,bahwa kondisi sudah mencoreng status yang disandangnya, termasuk sikap hedonis-materialis yang banyak menghinggapi mahasiswa.jangankan untuk merealisasikan statusnya sebagai sosial kontrol, untuk mengontrol dirinya sendiri ia tak lagi mampu.
Agar kedaan ini tidak berlarut-larut dan mendarah daging, kita sebagai mahasiswa harus menyadari bahwa mahasiswa adalah tonggak dari sebuah perubahan. Mari  mulai dari memorfosis diri sendiri. Saya masih ingat perkataan salah seorang dosen saya waktu awal-awal saya kuliah pada tahun pertama. Beliau mengatakan kepada kami bahwa seorang mahasiswa itu hendaknya memiliki 4 motto hidup seperti instansi-instansi berikut ini: 1) PEGADAIAN (memecahkan masalah tanpa masalah), 2) PLN ( yang penting, matikan yang kurang penting), 3) PERTAMINA (pastikan mulai dari nol), 4) PT. SEMEN PADANG (saya telah lebih dulu menggunakan, sebelum orang lain memikirkannya). Coba inap-inapkan perkataan dosen saya ini agar kita kembali menyadari peran dan status kita untuk membawa bangsa ini menemukan secercah cahaya, sebab saat ini bangsa kita telah berada dalam kegelapan yang mampu membawa kita pada kehancuran.
Kita sebagai mahasiswa hendaknya mimiliki motto hidup seperti instansi-instansi diatas, mampu menyelesaikan suatu masalah tanpa menimbulkan masalah yang baru, melakukan segala sesuatu sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku di masyarakat, menjunjung tinggi kejujuran dan melakukan sesuatu yang bermanfaat dan menemukan hal-hal yang baru dan bermanfaat bukan hal yang merugikan baik diri sendiri maupun orang lain.
Mahasiswa sebagai salah satu bagian dari masyarakat. Hal ini mengharuskan mahasiswa harus bisa masuk berpartisipasi dan mengembangkan ilmunya ke masyarakat dan lingkungannya. Mahasiswa diharapkan sebagai pencetus ide sekaligus eksekutor dari idenya, yang kemudian akan berpengaruh pada perubahan budaya, keadaan, atau sistem.
Selain itu, kepedulian dan nasionalisme terhadap bangsa dapat pula ditunjukkan dengan keseriusan menimba ilmu di bangku kuliah. Mahasiswa dapat mengasah keahlian dan spesialisasi pada bidang ilmu yang pelajari di perguruan tinggi, agar dapat meluruskan berbagai ketimpangan sosial ketika terjun di masyarakat kelak. Menjadi manusia yang bermanfaat baik bagi diri sendiri, orangtua, bangsa, agama dan negara.
Perubahan itu juga bisa terjadi pada segala segi termasuk pola pikir dan pola prilaku. Mahasiswa dituntut untuk mengimplikasikan segala macam sikap, perilaku, dan pikirannya dalam sebuah bentuk konkrit bukan sesuatu yang abstrak. Menuangkan ide-ide kreatif untuk bisa dimanfaatkan oleh dirinya sendiri maupun orang lain. Apa yang perlu diperbaiki dari yang sudah ada, atau melakukan perubahan yang bisa lebih bermanfaat bagi umat.
Mari mulai kembali menata segala sesuatu yang salah, Semangat dengan motto sang agent of change. Indonesia MERDEKA, hidup MAHASISWA….!!!! (Era Susanti)

Cerpen


Karena Mak, dan Demi Mak 
Era Susanti

Samudera nampaknya begitu lapar. Menelan bulat-bulat sang mentari, hingga sinarnya tenggalam di dasar lautan. Senja itu Kartini pulang, berlari menembus gemuruh di tengah hujan badai.
Kartini: “ Mak… Mak… Tini pulang, bukain Tini pintu mak..!!!
Mak: “ uhuk...huk...iya, tunggu sebentar nak...”
Kartini pulang basah kuyup senja itu, mak membukakan Kartini pintu sembari berkata:
Mak: “ kenapa gak ditunggu dulu hujannya redah baru pulang piak, nanti sakit. Mak gak punya uang untuk bawa kamu berobat ke rumah sakit.” Upiak, begitulah Kartini dipanggil ibunya. Upiak   merupakan panggilan sayang orangtua kepada anak gadisnya di Bumi Ranah Minang.
Kartini: “ Tini bukan gadis manja mak, tini ini kuat. Tini sudah tahan banting, mak gak usah khawatirkan Tini. Penyakit gak kan mau menghinggapi tubuh tini, gak betah dia mak.haha...oya, mak udah makan? Nih, Tini bawain sate “Balikan Awak” kesukaan mak. Tadi penghasilan Tini lumayan, karena hari pasar banyak kendaraan pribadi parkir. PEMDA cukup lihai sepertinya membaca sitkon, hari pasar dibuat pas hari libur. PNS dan ibu pejabat di sini masih menggemari pasar tradisonal, mungkin karena belum ada  mall seperti di kota-kota besar itu. Tapi tak lagi 5 atau 10 tahun nanti, karena Kabupaten hasil pemekaran ini akan semakin maju. Kalau sudah ada Super Market atau mall pasti pasar tradisonal akan kehilangan pesonanya.”
Mak: “ ah, kamu bisa aja piak. Belum tentu, mana tau ibu-ibu PNS dan ibu pejabat itu sudah terlanjur jatuh cinta pada pasar tradisional karena selain harganya yang murah, juga masih bisa ditawar dan kualitas barang yang diperjual belikan juga bagus. Seperti sayurannya segar-segar, ikan dan danging begitu bervariasi dan buah-buah yang dijual juga tak kalah kualitasnya dengan buah import yang dijual di mall-mall. Hanya tempatnya saja yang berbeda.” Celoteh mak sambil membuka dan melahap sate yang dibawakan Kartini untuknya.
Kartini: “ mak kan gak tahu, bagaimana hidup orang kaya. Mereka itu suka yang instan mak. Gak seperti kita rakyat miskin ini. Bagi mereka harga gak penting, yang penting kualitas dan pelayanan. Mana mau mereka pergi ke pasar tradisional yang jika hujan beceknya minta ampun. Lumpur bisa menggerogoti sepatu mengkilap mereka. Bagus lah pergi ke mall, yang tempatnya mentereng, aromanya begitu menggoda serta desain yang memanjakan mata. Soal harga mana mereka peduli, tak seperti kita yang harus mengumpulkan uang receh, hanya untuk bisa membeli segantang beras kualitas paling bawah, seikat sayur pucuk ubi, dan beberapa potong tempe di tambah se-ons ikan maco untuk dimasak buat sambal yang hanya akan ganti menu jika sambal itu tlah kering kerontang. Begitulah mak, di negeri kita ini nampak sekali perbedaan antara si kaya dan si  miskin.”
Mak: “ Mak paham piak, maafkan mak ya? Yang gak bisa memanjakanmu. Jangankan untuk membelikan semua keinginan dan kebutuhanmu. Untuk makan sehari-hari saja mak kadang tak mampu mencukupinya. Seandainya saja ayahmu masih hidup piak, pasti kau takkan semenderita ini.”
Kartini: “ Mak, maafkan Tini. Tini gak bermaksud membuat mak sedih. Tini bahagia kok, walaupun hidup apa adanya. Karena masih mempunyai mak, adalah kebahagiaan terbesar dalam hidup Tini.”
            Mak mengusap airmata yang tak mampu ia bendung. Aku tertegun, dan tak sanggup pula  ku bendung airmataku, hatiku seakan teriris menyaksikan badai yang turun dari matanya. Ya, kami sama-sama larut dalam kenangan tentang sosok ayah. Ayahku adalah seorang suami yang baik untuk ibu, dan ayah yang bertangggung jawab untukku dan sangat menyayangi kami. Aku  ingat waktu dulu ayah masih hidup, subuh-subuh ayah sudah bangun, shalat subuh langsung ke pasar tanpa sarapan, berpacu menampakkan sinarnya dengan sang fajar. Begitulah ayah, ia adalah sosok pekerja keras. Ayahku dulu adalah seorang tukang angkut di pasar tradisional, dengan menungggangi becak ia menawarkan jasa angkut kepada pedagang-pedagang di pasar.
Namun suatu hari ayahku yang sangat kuat itu, ku saksikan terkapar di tengah jalan raya, darah mengalir deras di kepalanya. Sederas aliran sungai yang membatasi kampungku dengan pasar tradisional itu. Menurut saksi mata, ayah di tabrak sebuah truk yang tak bertanggung jawab. Sopir truk itu melarikan diri, dan penduduk yang terperangah melihat kejadian itu juga tak sempat mencatat plat nomor truk tersebut. Maka jadilah ayahku korban tabrak lari, yang merenggut nyawanya di tempat. Darahku seakan berhenti mengalir saat menerobos kerumanan massa yang menyaksikan ayahku terkapar sudah tak bernyawa. Dan ibuku yang waktu itu di rumah, mendapat kabar tentang ayah langsung pingsan tak sadarkan diri hingga beberapa jam. Kejadian itu masih terekam jelas di benakku. Kejadian yang merenggut kebahagiaan aku dan ibu.
            Saat ini aku hanya mempunyai ibu, dan ibu hanya punya aku. Ya, memang hanya ada aku dan ibu saat ini, karena aku anak tunggal yang tak berkakak dan tak beradik. Karena itulah, ibu selalu kesepian saat aku berangkat ke pasar melakoni peranku sebagi tukang parkir. Sedangkan ayah, aku sangat yakin ia tlah berada di tempat terindah. Tempat yang telah di persiapkan TUHAN untuk orang-orang pilihan. Orang yang semasa hidupnya mampu bertanggung jawab atas kodratnya sebagai khalifah di muka bumi ini. Ya, ayahku adalah orang yang sangat bertanggung jawab dan patuh terhadap semua perintah TUHAN. Pernah sekali dulu, ayah sakit parah namun ia tetap melaksanakan sholat. Ayah sangat sering puasa senin dan kamis. Ia selalu menjadi imam aku dan ibu saat shalat maghrib, isha dan subuh. Begitulah ayahku, aku sangat merindukannya. Namun kejadian tabrak lari itu, membuat ia harus meninggalkan kami untuk selamanya. Aku sangat merindukan ayah.
*****
            Pagi ini aku tidak pergi ke pasar, karena kurang enak badan. Aku berpesan pada mak yang hendak ke warung untuk mengatakan pada uda ujang bahwa hari aku tidak bisa ke pasar. Uda ujang adalah temanku sesama tukang parkir, kami selalu membagi dua wilayah pasar yang dijadikan tempat parkir. Kadang aku di selatan, uda ujang di utara. Begitu sebaliknya, begitupun hasilnya kami bagi rata. Tak begitu lama mak ke warung, karena mak ke warung hanya membeli korek api untuk menghidupkan tungku, sebab korek api mak sering kali dihanyutkan air saat hujan.
Mak: “ sudah mak sampaikan pesan kamu pada ujang piak,”
Mak masuk ke dalam bilik sambil memastikan keadaan Kartini, suhu badan Kartini sangat panas. 
Mak: “ ya ALLAH piak, badan kamu panas sekali. Sudah berulang kali mak katakan. Kalau hari hujan, kamu jangan menerobos langsung pulang. Tunggu hujannya redah dulu. kalau mau mendengar yang mak katakan, kamu takkan sakit. Ya sudah, mak carikan kamu obat dulu ke warung.
Kartini: “ mak, tini gak apa-apa, Tini Cuma demam sedikit. Gak perlu di obat, paling bentar lagi sembuh sendiri.” Kartini memegang tangan maknya, dan melarang mak nya yang hendak membelikannya obat.
Mak: “ piak, saat ini mak hanya mempunyai kamu. Bapakmu tlah lama pergi meninggalkan mak. Mak gak mau kehilangan kamu piak, hanya kamu yang membuat mak kuat menjalani hidup ini” mak menangis tersedu-sedu.
Kartini: “ mak, sampai kapanpun. Tini takkan pernah meninggalkan mak. Kita akan selalu bersama, tini ini kuat mak. Sekuat ibu Kartini, sekuat pemilik nama yang mak berikan pada tini. Mak yang tenang, jangan panik, jangan khawatir. Tini gak kenapa-kenapa. Hanya demam sedikit, dan tak perlu obat. Bentar lagi juga sembuh.”
            Maknya memeluk Kartini erat-erat, seakan tak ingin anak semata wayangnya itu juga pergi meninggalkannya. Meninggalkannya sendiri, dalam sunyi yang ia jalani semenjak suami tercinta meninggal. Kartini tak sanggup menahan tangis, dan ia pun memeluk mak nya erat-erat.
Kartini:” Tini janji, takkan pernah meninggalkan mak. Tini akan selalu bersama dan menjaga mak selamanya.”
Mak: “ Kamu janji, akan bertahan dan selalu bersama mak?”
Kartini: “ iya, Kartini janji mak!”
            Keduanya kembali berpelukan, bak sepasang kekasih yang tlah lama memendam rindu. Seperti sahabat yang tlah lama tak bertemu, dan di pertemukan dalam situasi yang haru.
*****
          Ternyata benar yang di katakan Kartini pada maknya, penyakit tak betah berlama-lama di tubuhnya yang kekar itu. Meski terlahir sebagai wanita, Kartini sangatlah kuat. Dan hari ini Kartini tlah kembali ke pasar menjalani perannya sebagai tukang parkir. “Kiri....kiri....kiri...stop...” teriak Kartini memberi aba-aba kepada pemilik kendaraan yang hendak parkir dan kepada pemilik kendaraan yang hendak meninggalkan tempat parkir, sambil merogoh kocek 2ribu russpiah. Dan seulas senyuman, pertanda terimakasih.


(Kekaguman Penulis Pada Sosok Ibu Kita KARTINI, membuat penulis begitu terinspirasi menggunakan nama tokoh Kartini dalam Cerpen ini, Begitu juga dengan beberapa Artikel yang pernah penulis tulis dengan Tema Wanita selalu mengangkat topik tentang Perjuangan Ibu Kartini, sang pelopor "Habis Gelap Terbitlah Terang" yang telah berjasa mengangkat derajat wanita Indonesia di mata Dunia, Terimakasih ibu Kartini...!!!)