Di Balik Potret Usang Kartini


” Orang dapat merampas banyak dari kami, ya semuanya, tetapi jangan pena saya, ini tetap milik saya, dan saya akan dengan rajin menggunakan senjata itu ”

Itulah Cuplikan bait surat Kartini yang ia kirimkan untuk  sahabatnya bernama Nyonya Abendanon. Begitu kecilnya ruang gerak wanita pada saat itu, Kartini hanya bisa berkomunikasi dengan orang luar melalui surat. Hanya melalui tulisan, Kartini bisa mencurahkan isi hatinya. Tubuh Kartini terkurung dalam sangkar adat, namun semangatnya tak pernah pudar untuk memperjuangkan derajat kaum wanita. Pedang terhunus Kartini adalah penanya, menorehkan sejarah, senjata yang tidak haus darah, namun mampu menggetarkan hati dan jiwa para penjajah hingga hati mereka merasa tercabik-cabik oleh kepolosan jeritan hati nurani gadis pribumi.
Hingga detik ini, bulan ini, tahun ini, bahkan hingga nanti, Kartini tetaplah menjadi sosok yang sangat dikagumi, pelopor emansipasi wanita yang sudah diakui kegigihannya secara Nasional bahkan di mata dunia, seorang wanita yang berusaha keras dalam memperjuangkan kesetaraan gender wanita dengan kaum pria. Perjuangannya tidak sia-sia, seperti yang kita rasakan saat ini. Wanita sudah mampu memposisikan diri sejajar dengan kaum pria. Ini tak lain dan tak bukan berkat jasa beliau, sang pelopor “Habis Gelap Terbitlah Terang.
Waktu terus berlalu, dan era pun terus berubah. Meski Kartini hanya tinggal nama dan kenangan, namun sejarah tidak akan pernah melupakan sosok Kartini, sosok yang tlah mengangkat derajat wanita Indonesia di Negeri sendiri maupun di mata dunia. Begitulah sepintas potret perjuangan sosok Kartini, lalu bagaimana dengan kita Kartini Muda? Apa yang telah kita lakukan untuk mengangkat derajat dan martabat wanita terutama kehormatan dan harga diri sendiri?
Saat ini, Kartini dengan kebaya dan kain panjang yang memperjuangkan nasib wanita  mungkin sudah tidak zamannya lagi. Namun wanita harus tetap menjadi wanita dan sampai kapanpun takkan pernah menjadi pria. Wanita harus berjuang sesuai dengan kodratnya, wanita adalah panutan yang memiliki batas dalam bertindak. Terutama kita masyarakat Minangkabau, wanita begitu dihormati. Wanita harus tetap menjunjung tinggi adat dan istiadat serta ajaran agama terutama kita yang beragama Islam yang mana wanita diharuskan menutup aurat dan jika belum mampu memakai jilbab. Setidaknya kita tampil dengan pakaian selayaknya wanita, hal ini dapat menghindari terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan.
Kemudian jika dilihat posisi wanita dari segi adat, wanita dianjurkan sama dengan yang diharuskan agama. Apalagi kita di bumi ranah Minang yang berpengang pada falsafah adat “adat basandi syarak, syarak basandi kitabbullah”. Semua ada aturannya, mulai dari cara berbicara, berpakaian, cara makan dan cara tidur pun sebenarnya ada aturannya. Adat mengatur dengan mengacu pada agama, yaitu agama Islam.
Akan tetapi fenomena saat ini memberikan gambaran lain tentang sosok Kartini di era globalisasi. Begitu banyak kaum kita (wanita) yang menyalah artikan makna emansipasi. Banyak wanita yang ingin berkuasa, dan tidak lagi menghormati kaum pria. Seperti realita yang sering kita saksikan baik itu di media massa maupun di lingkungan tempat kita tinggal. Misalnya dalam hidup berumah tangga, banyak wanita yang mengambil alih peran pria. Dengan alasan pria (suami) tak lagi mampu menafkahi keluarga atau penghasilan suami tidak mencukupi kebutuhan rumah tangga. Atau gaji istri jauh lebih besar daripada gaji suami maka banyak wanita yang berbuat semaunya, tidak lagi menghormati suami bahkan tidak peduli dengan urusan rumah tangganya lagi. Yang menjadi korban dari kasus ini adalah anak, hal ini yang sering memicu anak mencari tempat pelarian, seperti terjarat candu narkoba dan pergaulan bebas. Orangtua sibuk dengan urusan masing-masing, ibu yang seharusnya bertugas menjaga anak di rumah saat suami bekarja tak lagi peduli dengan tugasnya. Jika ditegur, ibu (wanita) tersebut akan berdalih dengan berbagai alasan, salah satunya “ ini zaman emansipasi, bukan zamannya lagi di kekang. Kalau saya tidak ikut bekerja, bagaimana bisa membayar ini...itu... kamu kira gaji kamu cukup untuk menghidupi keluarga kita”? (cuplikan percakapan sinetron). Hal itu bukan hanya terjadi dalam sinetron, namun sering juga terjadi di kehidupan nyata. Bahkan ada yang menggugat cerai suaminya karena ingin bebas. Katanya, “Saya ingin bebas, ini zaman emansipasi, derajat kita sama. Dan kamu tidak berhak mengekang saya!
Emansipasi wanita? Ya! begitu banyak kita yang menyalah artikannya. Kesalah kaprahan emansipasi ini bukan hanya terjadi pada wanita dewasa atau ibu-ibu rumah tangga yang berebut kekusaan dengan suami atau pria-pria yang dikenalnya. Tetapi juga pada kita, generasi-generasi muda yang kelak akan menjadi pemegang tampuk bangsa ini ke depannya. Banyak diantara kita yang tidak lagi peduli dengan kebudayaan kita sendiri. Tidak lagi mau mematuhi aturan dan nasehat orang tua kita. Dewasa ini, marak sekali generasi bangsa yang lebih cenderung mengikuti arus budaya luar yang telah memudarkan eksistensi kebudayaan Indonesia asli, baik dalam perilaku kehidupan nyata maupun dalam dunia film mulai bergeser digantikan dengan pemakaian tata cara bahasa asing, pakaian minim ketat merupakan idola generasi bangsa saat ini yang sangat bertentangan dengan budaya timur yang sebagian besar beragama islam. Dengan pakaian ketat dan tutur kata yang sama rata tidak ada lagi rasa saling menghormati tersebut, semua dibuat sama rata. Jika ada diantaranya yang memilih memakai pakaian yang tidak mengikuti trend akan diberi gelar kamseupay. Atau jika ada yang takut pergi main tanpa meminta izin kepada orangtuanya terlebih dahulu akan mendapat gelar “anak mami”. Camon guys, bukan ini arti emansipasi yang sesungguhnya! Hal ini hanya akan merusak jati diri bangsa kita, apalagi kita generasi muda. Masa depan bangsa ini berada di tangan kita. Jangan lagi mau dibodohi oleh bangsa asing, kita punya jati diri. Kita punya budaya sendiri yang tak kalah memesona dengan budaya luar. Pertahan  yang kita miliki. Jangan biarkan ia pudar, kalau tidak kita yang melestarikannya. Siapa lagi?
Mari Kartini Muda, kita mencoba menjadi sosok yang diharapkan. Sosok yang pantas dengan sebutan “Wanita adalah perhiasan yang sangat berharga” menjadi sosok idaman pria. Belajar memantaskan diri dengan kodrat menjadi sosok panutan yang disegani dan dihormati. Mari hapus anggapan miring tentang sosok Kartini muda, yang acap kali disebut tidak tahu aturan, nilai, norma dan agama. Mari kita bangkit dan jangan lagi terlena dengan nyanyian indah dunia.
Ingat Kartini, Berjuang tidaklah harus dengan mengangkat senjata atau menghunus pedang di tengah gelanggang peperangan, ada jalan lain untuk melukis wajah dunia, pengorbanan yang tidak kalah berharga ketimbang menyambung nyawa. Dan meski saat ini kita telah mempunyai hak dan kedudukan yang sama dengan pria, jangan pernah meremehkan pria, sebab sampai kapanpun pria akan tetap menjadi pemimpin bagi kaum wanita. Pria harus tetap dihormati kodratnya sebagai Imam, walau mungkin status sosial kita lebih tinggi dari mereka. Sebab pria adalah penopang sekaligus pelindung bagi kita. Sejarah hanya terlahir dari kaum perempuan. Mari mengukir sejarah. Meski tak diingat sepanjang masa, setidaknya jika kita masih ada mereka tak mampu melupakannya. 
Sosok Kartini yang merupakan gadis pingitan semenjak usia belianya, dunianya yang terkurung tembok-tembok istana dan nasib keterkurungan itu dialaminya hingga saat di hari pernikahannya, ia mampu berjuang. Sedangkan kita yang hidup di era modern yang diberi kebebasan, haruskah menghancurkan perjuangannya? Akankah kita menjadi orang yang tidak tahu terimakasih? Jika tidak mampu seperti Kartini, mari mempertahankan apa yang tlah ia raih.(Era Susanti)