Kamis, 01 November 2012



Umpan Balik
Di pertemuan rapat rutin sebuah ORMAWA yang saya ikuti, kegaduhan sering tak terhindarkan. “tidak ada rapat dalam rapat” tegur pimpinan rapat. Kondisi hening sejenak, tapi tak lama kemudian gaduh kembali. Jika diminta untuk berbicara, tak seorangpun yang mau. Tapi saat pimpinan rapat berbicara, selalu terdengar bisik-bisik dan celoteh-celotehan kecil  di geruman pengurus ORMAWA tersebut. Pimpinan rapat semakin tak nyaman, ia pun diam sejenak. Kekecewaan nampak di raut wajahnya. Ini salah satu “tragedi” kecil komunikasi yang sering terjadi dalam kelompok.
Peristiwa serupa pasti sering kita alami atau kita saksikan di kehidupan sehari-hari. Di rumah misalnya, betapa banyak orangtua yang nyaris frustasi saat berkomunikasi dengan anak-anaknya. Gertakan dan ancaman tak lagi bertuah. “Anak-anak sekarang selalu membantah bila dinasehati”, keluh kakak saya, seorang ibu yang memiliki dua orang anak. Bahkan Presiden pun sampai marah, ketika berbicara di rapat kabinet, para Menteri justru asyik bercengkrama dengan sesamanya dan baru-baru ini di acara HUT BAYANGKARA ketika berkunjung ke salah satu sekolah yang akan mencetak para TENTARA Presiden kembali menegur beberapa calon TNI karena asyik berbicara dengan teman di sampingnya. Apa yang salah sebenarnya dengan semua ini?
Komunikasi adalah proses memberi dan menerima, mengirim dan menangkap, timbal balik. Kegaduhan dan “pembangkangan” adalah sinyal sebagai bentuk respon apa yang telah kita beri. Ini disebut umpan balik. Komunikator yang baik akan selalu sukses membaca umpan balik dan meresponnya dengan tepat. Kenapa orang mengantuk ketika kita berbicara? Mengapa orang acuh tak acuh terhadap kata-kata kita?
Kuncinya sejauh mana kita bisa membaca dan memaknai umpan balik. Kekacauan dan keributan bisa terjadi karena banyak hal, mungkin karena suasana ruangan yang tak nyaman, kondisi fisik yang tidak mendukung (capek dan lapar), atau karena kekakuan gaya, pemilihan kata yang baku, dan bisa jadi bahasa yang kita sampaikan sulit dimengerti. Dan komunikator yang bijak selalu menyalahkan dirinya sebelum menyalahkan orang lain. Jadi jika ada yang tidak beres, maka pastilah ada yang salah dengan kita.
Dengan melakolisir kesalahan pada kita, semua jadi tanggung jawab kita. Karena sejatinya suasana bisa diciptakan, bisa diusahakan, dan berbagai teknik bisa kita coba. Bahwa selalu ada gangguan itu benar adanya, kerena itu kita harus siap mengantisipasi segala bentuk keadaan. Kita bisa “memaksa” orang untuk mendengarkan, tapi bukan dengan gertakan atau instruksi. Ini juga merupakan salah satu kunci untuk menjadi orator yang baik, yakni merespon umpan balik dengan tepat.
Jika hidup ini sejatinya adalah proses komunikasi terus menerus, maka membaca dan merespon umpan balik memiliki dimensi yang sangat luas. Umpan balik adalah penanda, baik eksplisit maupun tidak yang ada disekitar kita. Ada alam dengan segala fenomenanya, ada dinamika sosial dengan segala gejalanya. Dari pengalaman bertahun-tahun, kita harus peka terhadap umpan balik yang diberikan oleh lingkungan kita.
Para pemimpin pun hendaknya sudah semestinya peka terhadap segala penanda sosial, lebih dari angka-angka laporan lemabaga resmi. Korupsi, pengangguran, kemiskinan, kriminalitas, kemacetan, tingginya angka kecalakaan, dan semakin maraknya penyakit sosial adalah umpan balik yang mendesak respon secepatnya secara tepat dan proporsional. Merespon dengan pencitraan bukan jawaban yang diharapkan. Negeri ini butuh bukti nyata, bukan janji belaka.
Sesungguhnya kecerdasan dan kepekaan membaca umpan balik adalah sebentuk kearifan hidup. Orang yang arif adalah mereka yang peka dengan segala penanda, kemudian menyikapinya dengan proporsional. Pemimpin yang arif adalah mereka yang selalu cermat menyimak suasana, cerdas membaca dan merspon umpan balik dan amanah terhadap yang dipimpinnya. Ini harapan besar kami bapak-ibu pemimpin Negeri yang terhormat. (Era Susanti)