Umpan
Balik
Di
pertemuan rapat rutin sebuah ORMAWA yang saya ikuti, kegaduhan sering tak
terhindarkan. “tidak ada rapat dalam
rapat” tegur pimpinan rapat. Kondisi hening sejenak, tapi tak lama kemudian
gaduh kembali. Jika diminta untuk berbicara, tak seorangpun yang mau. Tapi saat
pimpinan rapat berbicara, selalu terdengar bisik-bisik dan celoteh-celotehan
kecil di geruman pengurus ORMAWA
tersebut. Pimpinan rapat semakin tak nyaman, ia pun diam sejenak. Kekecewaan
nampak di raut wajahnya. Ini salah satu “tragedi”
kecil komunikasi yang sering terjadi dalam kelompok.
Peristiwa
serupa pasti sering kita alami atau kita saksikan di kehidupan sehari-hari. Di
rumah misalnya, betapa banyak orangtua yang nyaris frustasi saat berkomunikasi
dengan anak-anaknya. Gertakan dan ancaman tak lagi bertuah. “Anak-anak sekarang selalu membantah bila
dinasehati”, keluh kakak saya, seorang ibu yang memiliki dua orang anak.
Bahkan Presiden pun sampai marah, ketika berbicara di rapat kabinet, para
Menteri justru asyik bercengkrama dengan sesamanya dan baru-baru ini di acara
HUT BAYANGKARA ketika berkunjung ke salah satu sekolah yang akan mencetak para
TENTARA Presiden kembali menegur beberapa calon TNI karena asyik berbicara
dengan teman di sampingnya. Apa yang salah sebenarnya dengan semua ini?
Komunikasi
adalah proses memberi dan menerima, mengirim dan menangkap, timbal balik.
Kegaduhan dan “pembangkangan” adalah sinyal sebagai bentuk respon apa yang
telah kita beri. Ini disebut umpan balik. Komunikator yang baik akan selalu
sukses membaca umpan balik dan meresponnya dengan tepat. Kenapa orang mengantuk
ketika kita berbicara? Mengapa orang acuh tak acuh terhadap kata-kata kita?
Kuncinya
sejauh mana kita bisa membaca dan memaknai umpan balik. Kekacauan dan keributan
bisa terjadi karena banyak hal, mungkin karena suasana ruangan yang tak nyaman,
kondisi fisik yang tidak mendukung (capek dan lapar), atau karena kekakuan
gaya, pemilihan kata yang baku, dan bisa jadi bahasa yang kita sampaikan sulit
dimengerti. Dan komunikator yang bijak selalu menyalahkan dirinya sebelum
menyalahkan orang lain. Jadi jika ada yang tidak beres, maka pastilah ada yang
salah dengan kita.
Dengan
melakolisir kesalahan pada kita, semua jadi tanggung jawab kita. Karena sejatinya
suasana bisa diciptakan, bisa diusahakan, dan berbagai teknik bisa kita coba.
Bahwa selalu ada gangguan itu benar adanya, kerena itu kita harus siap
mengantisipasi segala bentuk keadaan. Kita bisa “memaksa” orang untuk
mendengarkan, tapi bukan dengan gertakan atau instruksi. Ini juga merupakan
salah satu kunci untuk menjadi orator yang baik, yakni merespon umpan balik
dengan tepat.
Jika
hidup ini sejatinya adalah proses komunikasi terus menerus, maka membaca dan
merespon umpan balik memiliki dimensi yang sangat luas. Umpan balik adalah
penanda, baik eksplisit maupun tidak yang ada disekitar kita. Ada alam dengan
segala fenomenanya, ada dinamika sosial dengan segala gejalanya. Dari
pengalaman bertahun-tahun, kita harus peka terhadap umpan balik yang diberikan
oleh lingkungan kita.
Para
pemimpin pun hendaknya sudah semestinya peka terhadap segala penanda sosial,
lebih dari angka-angka laporan lemabaga resmi. Korupsi, pengangguran,
kemiskinan, kriminalitas, kemacetan, tingginya angka kecalakaan, dan semakin
maraknya penyakit sosial adalah umpan balik yang mendesak respon secepatnya
secara tepat dan proporsional. Merespon dengan pencitraan bukan jawaban yang
diharapkan. Negeri ini butuh bukti nyata, bukan janji belaka.
Sesungguhnya
kecerdasan dan kepekaan membaca umpan balik adalah sebentuk kearifan hidup.
Orang yang arif adalah mereka yang peka dengan segala penanda, kemudian
menyikapinya dengan proporsional. Pemimpin yang arif adalah mereka yang selalu
cermat menyimak suasana, cerdas membaca dan merspon umpan balik dan amanah
terhadap yang dipimpinnya. Ini harapan besar kami bapak-ibu pemimpin Negeri
yang terhormat. (Era Susanti)