Kamis, 07 November 2013

50:50



Seperti Seharusnya
Cinta? Ya. kata ini yang seakan merajai hati dan hidup kita. Seperti kata pujangga, hidup tanpa cinta bagai sayur tanpa garam. Hambar, hampa, dan seakan tak berwarna. Lalu muncul lagi pertanyaan, apa sebenarnya cinta? Perasaan dag, dig, dug di hati saat bertemu si dia atau ketika kita memilih hidup bersama si dia dengan menerima kelebihan dan kekurangannya atau ketika kita mengikhlaskan si dia yang kita inginkan untuk hidup bahagia bersama orang lain atau ketika kita menjatuhkan air mata saat si dia memilih pergi meninggalkan kita atau ketika kita benar-benar merasa tak berarti dan mau mengorbankan apa saja demi si dia bahagia meskipun itu membuat kita terluka? Entahlah, jika ditanya lagi akan ada jutaan rangkaian kata indah untuk jawaban pertanyaan tentang cinta dari setiap jiwa. Namun yang pasti cinta adalah anugerah terindah yang dititipkan Sang Maha Cinta di hati setiap hambanya.
Tentang cinta? Juga acapkali menjungkir balikkan saya. Tragedi asmara di masa putih abu-abu bersamanya mampu membuat saya vakum selama 2,5 tahun, menutup hati, membutakan mata untuk mereka yang coba hadir tawarkan rasa. Namun awal tahun lalu “Cinta” kembali menghinggapi ranting hati saya. haha... Seseorang yang dulu pernah saya inginkan berhasil mendobrak pintu hati saya yang tlah lama terkunci, namun karena “Cinta” seperti yang diungkapkan Kahlil Gibran “pabila cinta memanggilmu... ikutilah dia walau jalannya berliku-liku... dan pabila sayapnya merangkummu pasrahlah serta menyerah... walau pedang tersembunyi di sela sayap itu melukaimu...” Setelah coba dijalani selama beberapa bulan, ternyata ada beberapa perbedaan visi dan misi kami hingga akhirnya memutuskan untuk tak lagi bersama. Entah apa yang tengah terjadi dengan hati saya, tak butuh waktu lama ruang hati yang kosong selepas kepergiannya berhasil di tempati oleh sahabat kecil saya, yang kami memang dekat. Dia tempat curhat saya, dan saya juga tempat curhat dia. Saya tidak tahu kapan tepatnya benih-benih cinta itu bersemi, dan realita kami tlah bersama dalam ikatan pacaran. Seperti muda-mudi lain yang tengah dilanda badai asmara, sebagian besar waktu saya tersita hanya untuk memikirkan dan ingin bersamanya.
Akhir Agustus lalu, walau terasa berat saya harus pergi meninggalkannya untuk melanjutkan studi saya kembali ke ibu kota provinsi. Dia melepas kepergian saya, kami mengucap berbagai pesan dan janji untuk tetap bersama meski waktu dan jarak memisahkan kami sementara. Saya berangkat dengan penuh keyakinan bahwa saya akan mengingat pesan dan janji serta menjaga kepercayaannya. Dan saya juga berharap dia akan melakukan hal yang sama. Karena memang saya tlah meyakinkan hati saya bahwa saya ingin memilihnya untuk menjadi cinta terakhir di hidup saya, sebab saat itu saya benar-benar tlah melihat ketulusan dan keseriusannya kepada saya. Sikap dan tingkah mampu menyakinkan saya dan keluarga saya. Seiring berjalannya waktu, ternyata jarak mampu membangkitkan naluri egoisme di diri kami. Saya bertahan dengan sikap egois saya, sehingga saya hadir sebagai pribadi yang sangat over protek dan possesif. Jika sehari saja tak ada kabar, maka akan berujung dengan pertengkaran. Setiap waktu, keberadaan dan kegiatannya selalu saya curigai.
Hingga pertengahan bulan lalu dikepulangan saya, dipertemuan terakhir yang saya minta pasca pertengkaran akhir september lalu dengan permintaan maaf ia memutuskan untuk tak lagi bersama dan pergi meninggalkan saya. Saya tidak menahan kepergiannya, karena memang saya merasa ini terjadi karena salah saya dan dia pun juga tlah menemukan pengganti saya. Meski sangat menyakitkan, saya ikhlas dan berdo’a semoga dia bisa bahagia bersama dia, kekasih barunya. Saya menangis lagi karena kehilangan sahabat dan kekasih terbaik saya. Lagi-lagi, ini karena cinta. Haha...
Saya benar-benar kehilangan arah pasca kejadian itu. Sampai-sampai saya menyiksa diri, saya sering menangis dan lupa makan. Orang tua saya khawatir, saya diprotes karena badan saya semakin kurus. Setiap ada yang bertanya bagaimana hubungan saya dengan dia, saya selalu menangis dan curhat. Namun berkat curhat dan nasehat dari orangtua, kakak, dan teman-teman saya serta motivasi diri yang kuat yang selalu coba saya tanamkan di dalam diri saya saat ini saya tlah mampu bangkit kembali. Saya yang dulu tlah kembali lagi, saya tlah mampu merelakan apa yang terjadi karena memang di dalam hidup ini tak ada yang bisa dipaksakan. Rezeki, jodoh, kematian adalah rahasia Illahi. Allahlah yang Maha Kuasa, Dia yang membolak-balikkan hati kita. Kita sebagai manusia hanya bisa berusaha dan berdo’a, dan Allah tahu apa yang terbaik untuk kita. Biarkan semua terjadi seperti seharusnya, Allah tidak suka sesuatu yang berlebihan. Tentang cinta? Jangan pernah mencintai sesuatu melebihi cinta kita kepada Allah. Ibarat kereta api merangkak menyusuri rel, sedikit saja melenceng keluar dari rel maka kereta akan jatuh. Begitupun hidup, jangan pernah keluar dari batas. Berjalanlah di rel yang di Ridhoi Allah. (Era Susanti)

Sabtu, 13 Juli 2013

Akankah?



Bulan Suci Tinggal Nama
Bulan ramadhan merupakan bulan suci bagi umat Islam di seluruh penjuru dunia. Bulan dimana umat Islam berpuasa sebulan penuh, menahan lapar dan haus serta semua hal yang membatalkan puasa dan menjauhi semua hal yang dapat mengurangi amalan ibadah puasa. Bulan ramadhan merupakan kesempatan terindah bagi umat Muslim, karena di bulan ramadhan kita diberi kesempatan untuk memperbaiki diri dan menghapus dosa-dosa yang telah kita lakukan di bulan-bulan lainnya. Banyak amalan-amalan sunnah yang ada di bulan ramadhan dan tidak kita jumpai di bulan-bulan lain. Karena ALLAH tlah berjanji bagi mereka yang menjalankan amalan-amalan ibadah di bulan ramadhan dengan ikhlas, ALLAH akan mensucikan diri mereka kembali seperti bayi dan menghapus semua dosa-dosa yang telah dilakukan di bulan-bulan atau tahun-tahun sebelumnya.
Dulu, di zaman saisuak umat Muslim benar-benar memanfaatkan moment bulan suci ramadhan untuk mensucikan diri dari dosa-dosa yang telah dilakukan di masa lampau. Ingat saya, sewaktu saya masih kecil ibu saya selalu menyuruh saya puasa walaupun itu hanya setengah hari saja. Dan pada malam harinya ibu selalu membawa saya ke Surau untuk melakukan sholat taraweh, surau penuh setiap malamnya, dan keadaan itu berlanjut sampai akhir ramadhan. Dulu kalau tidak puasa malu, namun jika dilihat dengan keadaan kita di era sekarang sungguh sangat jauh berbeda. Saat ini kita tidak lagi menghargai datangnya bulan suci ramadhan. Bulan suci seakan hanya tinggal nama, namun tlah hilang rasa. Karena banyak diantara kita tak lagi menghargai bulan suci. Jangankan melakukan amalan-amalan yang disunnahkan. Puasa yang diwajibkan saja banyak diantara kita yang enggan melakukannya.
Bisa kita saksikan di tempat-tempat umum saat ini, banyak sekali diantara kita yang seenaknya saja makan dan minum. Warung-warung makanan bebas buka di siang hari, dan penuh dengan pengunjung. Tak ada lagi rasa malu kita jika tidak berpuasa, rasa tenggang rasa dan saling menghargai seakan tlah luntur di dalam diri kita. Begitu juga jika malam, di bulan suci ini seharusnya kita mengisi malam-malam kita dengan sholat tarawih di mesjid dan tadarus Al-qur’an. Namun baru sepekan ramadhan, banyak mesjid yang tlah kembali sunyi di tinggal penghuninya. Mesjid yang sesak dengan jamaahnya di awal-awal ramadhan, seakan tlah kehilangan pesonanya. Yang tertinggal hanya beberapa saf jamaah saja.
Para pemuda lebih senang huru-hara di jalanan dan di tempat-tempat hiburan atau nongkrong di rumah sambil BBM-an atau Chatting di Warnet. Jika tidak, nongkrong bareng teman atau kekasih hati jauh lebih menarik dari sholat tarawih atau tadarusan di mesjid. Sholat tarawih bagi generasi muda hanya alasan untuk dapat keluar dari rumah. Dengan bermodalkan sarung, peci atau mukena izin ke mesjidpun akan didapat dengan gampang. Namun bukan mesjid yang di tuju, melainkan tempat tongkrongan favorit bersama teman  atau kekasih hati.
Lain cerita generasi muda, lain pula versi orangtua. Biasanya pekan ke dua mesjid akan semakin kehilangan pesonanya, karena yang hadir untuk sholat tarawih hanyalah beberapa orang tua/manula karena mengikuti sholat empat puluh. Para orangtua punya alasan berbeda untuk tidak ke mesjid. Yaitu sibuk membuat kue untuk lebaran, sungguh kita benar-benar tlah kehilangan hati nurani. Lebaran sesungguhnya bukan matrealis seperti saat ini yang di sambut dengan berbagai macam kue, berbagai macam model pakaian, sepatu, jilbab dan mukena baru tak ketinggalan. Bukan itu sebenarnya, Lebaran merupakan kemenangan bagi mereka yang berhasil membelenggu diri dengan amalan-amalan di bulan suci ramadhan. Kemenangan bagi mereka yang berhasil menahan hawa nafsu dan menghindar dari godaan setan yang terkutuk. Maka di Idul Fitri ALLAH memberi kemenangan kepada meraka dengan menjadi suci kembali seperti bayi yang baru dilahirkan.
Sebelum ramadhan berakhir, mari manfaatkan kesempatan ini untuk memperbaiki diri kita. Mari melakukan amalan-amalan yang dapat meningkatkan derajat kita di mata Sang Pencipta, berharap meraih kemenangan di Idul Fitri nanti. Semoga amalan yang kita lakukan di bulan ramadhan ini dapat menghapus segala dosa-dosa yang pernah kita lakukan, dan ALLAH mensucikan kita kembali. Seperti kertas kosong yang putih tanpa noda. Jangan biarkan bulan suci ini berlalu tanpa rasa, karena belum tentu kita akan bertemu lagi dengan bulan suci berikutnya. Jangan sia-siakan kesempatan ini, karena kita belum terlambat. Masih ada waktu, masih ada kesempatan. Mari kembali intropeksi diri. Jika kita berjalan menuju ALLAH, maka ALLAH akan berlari menuju kita.Yakinlah! (Era Susanti)

Minggu, 21 April 2013

Cari dan temukan mereka...!!!



Orang-orang Baik
            “Semesta akan memberikan seperti apa yang kamu berikan” pepatah ini seakan menegaskan kembali bahwa dalam hidup memang terjadi hukum timbal balik atau sebab akibat. Saat pertama kali dinyatakan lulus di salah satu universitas negeri di ibu kota provinsi, ada secuil kecemasan yang menggerogoti bathin saya, namun hal itu tidak mampu mengalahkan gelora kesungguhan saya untuk tetap bisa melanjutkan studi. Di sini (di padang) saya tidak memiliki seorang pun family atau saudara yang tinggal/menetap di padang (kecuali family yang sama-sama mahasiswa). Dalam istilah minang dialek Dharmasraya “kok tajadi apo-apo, dakdo tompek mengadu di siko de” (kalau terjadi apa-apa, tidak ada tempat mengadu/tempat meminta bantuan di sini). Dan Padang “Negeri kami adalah Super Market Gempa” tutur Mendagri dalam sebuah berita televisi yang saya saksikan beberapa tahun lalu. Tapi semua kecemasan itu saya tepis untuk satu tujuan.
            Di sini, takdir membawa saya bertemu dengan orang-orang baik. Ia kenalkan saya dengan teman-teman yang baik, ia pilihkan saya untuk tinggal di dekat orang-orang baik, ibu kos yang baik yang selalu tersenyum meski terkadang uang kos saya sudah nunggak selama 4 bulan. Kakak kos yang baik, yang setiap kali ia memasak sambal saya tidak perlu cemas harus membeli dulu sambal untuk bisa makan, yang setiap kali mempunyai uang lebih mentraktir saya makan, mengajak jalan saat libur dan membagi pulsa jika pulsanya banyak, bahkan terkadang memberi saya uang jika dapat rezeki berlebih. Teman sekamar saya yang sering mengumpat atau menyerocos ketika membangunkan saya di saat subuh untuk antri mandi, kadang ia membawakan handuk saya supaya dapat antrian setelah dia selesai mandi. Selalu mengingatkan saya untuk mengerjakan tugas, dan dengan sabar meski mungkin terkadang tidak ikhlas menunggui saya selesai berbenah untuk berangkat kuliah. Dosen PA saya yang baik, dan masih banyak orang-orang baik yang tidak mungkin saya sebutkan satu persatu yang Allah kirimkan untuk membantu saya di sini. Allah memang tidak pernah meninggalkan kita, jika kita bersungguh-sungguh ia akan lebih bersungguh-sungguh untuk membantu kita. Untuk semua orang-orang baik yang telah membantu saya di sini, saya mungkin tidak bisa berjanji untuk bisa membalas semua kebaikan yang telah diberikan kepada saya, namun saya ingin bisa menjadi orang baik seperti kalian. Melalui tulisan ini saya mengucapkan ribuan terimakasih karena terkadang lisan terlupa mengucapkkannya.
Orang-orang baik, ya! Di tengah kejamnya kehidupan akhir zaman yang kata orang sulit sekali untuk bisa menemukan orang baik. Namun mereka masih ada, seperti mereka yang saya temukan di ibu kota provinsi yang kehidupannya sudah mulai kejam meski mungkin tidak sekejam ibu tiri dalam dongeng “Bawang Merah Bawang Putih” namun saya juga pernah merasakan kekejamannya saat awal tahun kuliah, waktu itu saya ke pasar raya membeli sesuatu untuk di bawa pulang kampung, karena akan merayakan Idul Adha bersama keluarga. Di pasar ketika asyik memilih buah, dompet saya lenyap di sambar tangan orang jahat. Betapa sedihnya saya saat itu, karena untuk ongkos angkot pulang saja saya harus membatalkan membeli buah yang uangnya sudah saya berikan kepada penjual. Karena memang tidak ada uang yang tersisa. Lagi-lagi saya diantarkan takdir bertemu dengan orang baik, ia yang meminjamkan saya ongkos untuk pulang kampung yang baru bisa saya bayar 2 minggu kemudian.
Tentang orang-orang baik, mungkin jumlahnya tidak banyak dibanding orang jahat. Tapi jika mereka (orang-orang baik) mampu bertahan di tengah banyaknya pengaruh orang jahat maka sejatinya itulah kemenangan yang tak ternilai harganya. Bertahan menjadi orang baik meski begitu banyak tekanan dari orang-orang jahat.
Saya menulis ini bukan berarti saya menganggap diri saya orang baik, menjadi orang baik tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Namun menjadi orang baik juga tidaklah sesulit membalikkan telapak kaki. Kita hanya perlu keseriusan dalam menekuninya. Mari kita berusaha untuk menjadi orang baik, karena setiap kita pasti membutuhkan orang lain dalam hidup ini. Baik itu langsung ataupun tidak langsung. Berinteraksi pun harus memilih mana orang yang baik dan tidak baik bagi kita. Jadi marilah memohon kepada Allah untuk selalu bersama orang yang baik dan dijauhkan dari orang yang jahat kepada kita. (Era Susanti)




Minggu, 14 April 2013

Jejak-jejak Mimpi



Mengukir Kembali Jejak Mimpi
“Kakak, kenapa tidak pernah menulis lagi?” beberapa hari yang lalu salah seorang junior saya bertanya. Dan saya menjawab “otak kakak lagi blank dek” meskipun saya tidak tahu apa arti kosakata “blank” tapi saya berani juga menggunakannya. Saya senang mendengar pertanyaan junior saya tersebut, secara tidak langsung dari pertanyaannya, saya temui makna tersirat bahwa ada yang menunggu dan mau membaca tulisan saya, meskipun dalam candaan seorang teman, tulisan saya adalah tulisan sampah. hmm, terimakasih dek Putri Oviolanda Irianto, pertanyaannya memotivasi kakak untuk kembali menulis! Dan sebenarnya mungkin saya tahu, itu hanya cara dia menghargai saya sebagai seniornya, bukan karena kualitas tulisan saya. hehe...
   Ya! Dua bulan terakhir bisa dikatakan saya vakum dari dunia kreativitas. Hari-hari saya lalui dengan kejenuhan, jenuh dengan tugas-tugas kuliah, jenuh dengan jadwal kuliah, jenuh dengan sedikit pekerjaan yang saya miliki, dan waktu luang saya habiskan hanya dengan menatap layar kaca, memikirkan masalah hidup tanpa mau berbuat dan mencari solusinya, bergelut dengan dunia maya tanpa ada makna, cengangas-cengingis dengan teman facebook, minimal 2x sehari up date status galau. Sungguh sebuah kebodohan yang luar biasa, hehe... Untung saja, junior saya tersebut menegur, membuat saya sedikit tersadar. Bahwa saya sudah menjadi orang yang merugi 2 bulan ini. Dan jika tak ingin berlanjut, saya harus bangkit. Ya!
Hari ini (selasa, 02 April 2013) pada jam perkuliahan, salah seorang dosen saya memutarkan sebuah Film motivasi yang berjudul “Jejak-jejak Mimpi”, film tersebut juga sudah pernah saya tonton waktu SMA dulu, diputarkan oleh salah seorang guru saya. Dan memang film itu mampu menyuntikkan inspirasi dan motivasi ke dalam diri saya. Film kisah nyata yang ditulis oleh seorang pemuda pesisir, menuliskan 100 mimpinya di atas kertas dan ditempelkan di dinding kamarnya. Dengan usaha dan keyakinan ia mampu mewujudkan semua mimpi-mimpinya tersebut. Hal serupa juga saya lakukan, dan Insyaallah beberapa mimpi yang saya tuliskan juga telah terwujud, diantaranya bisa mempublikasikan tulisan di media massa. Dan Alhamdulillah!
Berbicara tentang mimpi, saya ingat tulisan saya yang pertama kali dilirik Singgalang berjudul “Mimpikan, Khayalkan, Nyatakan!” tulisan itu juga membicarakan tentang mimpi-mimpi dan bagaimana kita seharusnya agar mimpi tersebut tidak sekedar menjadi bunga tidur atau catatan di atas kertas, tetapi ia hadir dalam kehidupan nyata kita. huuuffhhh... menyesal sekali rasanya 2 bulan ini hanyut oleh alunan kebodohan yang selalu mengemukakan alasan bahwa “saya sedang berada di titik kejenuhan, tak satu pun yang mampu saya pikirkan” ya, itu yang acapkali saya ucapkan ke beberapa orang terdekat saya.
padahal di awal tahun lalu, begitu banyak mimpi-mimpi yang saya tuliskan. Dan setiap mimpi itu saya tulis dengan kata “HARUS” karena tidak ingin ada alasan untuk mengabaikan mimpi-mimpi tersebut. Namun, 1/3 tahun ini sudah saya lalui tapi bisa diistilahkan baru 10% mimpi-mimpi tersebut saya usahakan. Saya bisa dikatakan jalan ditempat. Tapi sekarang saya tak ingin jalan di tempat lagi, saya ingin beranjak dari suatu tempat ke tempat lain. Tidak mau lagi terlena, karena saya punya punya mimpi dan janji kepada amak saya. Saya harus bangkit, saya harus berusaha, mengukir kembali jejak-jejak mimpi itu, dan tidak boleh mengecewakan amak saya, ia tlah letih, ia tlah banyak berkorban untuk hidup saya dan saya harus membahagiakan dia.
Come on guys, mari kita bangkit! Mengukir kembali jejak-jejak mimpi yang pernah kita rangkai. Jangan buat mereka, orang-orang yang mengharapkan kita terutama keluarga dan orang tua. Berikan yang terbaik buat mereka, karena mereka telah banyak berkorban dan memberikan yang terbaik untuk kita. jika tidak sekarang, mungkin kita akan terlambat. Akankah kita menjadi orang yang tidak tahu terimakasih? Insyaallah, tidak! Jangan seperti saya yang pernah mencoba berkilah dengan alasan “Jenuh”, jangan! (Era Susanti)

Selasa, 29 Januari 2013

Musim Penghujan (Rahmat dan Cobaan)



Dempung Darah Kami Saat Musim Hujan

“Penghujan hari sekarang, kadang rusuh pula hati dibuatnya, padahal hujan adalah rahmat. Di Padang, jika hari sudah hujan lebat, darah berdempung, bisa banjir besar atau paling tidak jalan tergenang”, kata pak Khairul Jasmi mengawali ceritanya tentang “Hujan” di wasit garis Singgalang akhir tahun lalu (11 November 2012). Saya tersenyum membacanya. Wasit garis adalah salah satu tulisan yang saya tunggu hadirnya setiap Minggu, setelah tulisan saya, hehe... saya suka membaca tulisan pak KJ, bahasanya sederhana, humoris, tapi syarat makna. Beliau adalah salah seorang penulis idola saya. Waktu novelnya “Lonceng Cinta Di Sekolah Guru” terbit maret tahun lalu, waktu itu saya juga mendapat tugas kuliah menganalisis Novel terbitan terbaru, ketika pergi mencari novel ke toko buku, mata saya juga tertuju pada Novelnya, tapi sayang harganya mahal, maklum. Karena memang diterbitkan oleh Penerbit ternama di Negeri ini. Setelah menghitung-hitung isi kantong, akhirnya saya mengurungkan niat saya untuk membelinya dan membeli novel yang lain saja. Namun saya cukup cerdik, tapi mungkin masih kalah oleh kancil dalam cerita fabel. Hehe... Saya membujuk teman saya untuk membelinya, dan akhirnya beliau mau, maka setelah ia selesai membacanya saya pun mengambil nomor antri pertama untuk meminjamnya, setelah membaca, novel tersebut saya resensi, dan Alhamdulillah diterbitkan pula. Hehe...
Sekarang juga musim hujan, berita tentang banjir hampir setiap hari mengisi surat kabar dan layar kaca. Bangunan, harta, bahkan nyawa tlah dihanyutkannya. Namun untung,  Masyarakat kita masih memiliki rasa kepedulian terhadap sesama, berbagai bantuan dan upaya telah dilakukan untuk membantu saudara kita yang terkena musibah tersebut. Bantuan moril dan materil telah diupayakan oleh berbagai pihak, baik Pemerintah/Swasta, Ormas, Ormawa maupun individu lainnya. Semoga musibah ini cepat berlalu dan saudara kita bisa tersenyum kembali menjalani hari-harinya. Menikmati hidup seperti biasanya, dan diberi kesabaran dan keikhlasan menerima semua cobaan ini. Meyakini bahwa ini rencana Allah, semua kan ada hikmahnya. Amin.
Selain “darah berdempung karena takut banjir atau jalan tergenangi air” seperti kata Pak KJ, saya juga punya cerita tentang musim hujan. Sudah seminggu ini, amak dan uni saya hanya di rumah berkumpul bersama kami (saya dan keponakan saya), biasanya subuh mereka sudah berangkat ke kebun untuk menyadap karet. Tapi tidak seminggu ini, mereka hanya di rumah, namun nampak dari raut wajahnya bahwa hatinya tidak tenang dan rusuh. Sambil berkata, “bekpo la mangko o, lundo nyan dapek motong li de. Aghi ujan tarui ye, ntah dapek ta idak era ko balek k padang suk li. Ongkos ye dapek suk lu jadi ye la.” (entah bagaimana lah, belum ada dapat menyadap. Hari hujan terus, ntah dapat, ntah tidak era ini pergi ke padang lagi. Ongkosnya saja dapat besok dulu, jadilah) Kata amak saya kepada makwo saya beberapa hari yang lalu.
Jika hari sudah musim penghujan di kampung saya, hanya mereka yang bekerja sebagai PNS, pedagang, pengusaha atau karyawan yang tidak berdempung darahnya. Selebihnya pasti mengalami kegalauan yang luar biasa. Karena sebagian besar mata pencarian penduduk di kampung saya adalah sebagai petani karet. Jika hari hujan, karet tidak bisa disadap. Jika tidak pergi menyadap, otomatis penghasilan tidak ada. Jika tidak ada penghasilan, bagaimana bisa melanjutkan hidup? Bagaimana bisa makan, bagaimana membayar tagihan listrik, bagaimana membayar uang sekolah/kuliah anak, bagaimana memenuhi kebutuhan hidup lainnya?
Dempung darah itu akan dirasakan sangat hebat oleh para orangtua yang anaknya kuliah di Negeri orang, sama seperti yang dirasakan oleh amak saya. bagaimana hendak mengirimi anaknya uang, jika uang tidak dikirim bagaimana anaknya bisa makan dan bertahan hidup di negeri orang? Jika anak ada di rumah bersama orangtua, tentu orangtuanya tidak akan terlalu risau, sebab jika orangtua makan anak pasti juga akan makan. Tapi jika anak jauh di Negeri orang, jika tidak ada uang. Tentu tidak akan makan. Dempung darah itu tidak hanya dirasakan oleh para orangtua, tetapi juga oleh anak. Jika kuliah di negeri orang, uang dibutuhkan tidak hanya untuk makan, tetapi segala sesuatunya butuh uang. Tugas kuliah menggunung untuk diprint, ongkos ke kampus, membeli peralatan mandi, dll. Kegalauan ini selalu kami rasakan setiap musim penghujan dengan beberapa teman saya yang orangtuanya juga bermata pencarian sebagai petani karet. Tapi jika masih ingin tetap melanjutkan kuliah, harus bertahan dan bersabar dengan keadaan ini. Sabar, ya! Untuk meraih kesuksesan memang banyak cobaan dan rintangan yang harus dilalui.
Begitu sedikit cerita saya tentang hujan, menyambung cerita pak KJ akhir tahun lalu. Saat musim hujan tlah tiba, darah kami (amak saya, saya, teman-teman saya dan para orangtuanya yang juga petani karet) berdempung semakin deras. Kami sangat cemas hanyut dan larut bersama hujan. Walau bagaimanapun hujan adalah Rahmat, dan kita harus mensyukuri Rahmat yang diberikan Allah. Jika saat ini hujan menggalaukan hidup kita, mungkin ia hadir sebagai cobaan, cobaan menguji kesabaran. Kesabaran yang apabila kita sanggup mempertahankannya akan berbuah manis. “Hujan akan selalu ada meski terkadang ia membuat kita resah dan takut” Kata pujangga yang saya copas di jejaring sosial. (Era Susanti)