Kamis, 07 November 2013

50:50



Seperti Seharusnya
Cinta? Ya. kata ini yang seakan merajai hati dan hidup kita. Seperti kata pujangga, hidup tanpa cinta bagai sayur tanpa garam. Hambar, hampa, dan seakan tak berwarna. Lalu muncul lagi pertanyaan, apa sebenarnya cinta? Perasaan dag, dig, dug di hati saat bertemu si dia atau ketika kita memilih hidup bersama si dia dengan menerima kelebihan dan kekurangannya atau ketika kita mengikhlaskan si dia yang kita inginkan untuk hidup bahagia bersama orang lain atau ketika kita menjatuhkan air mata saat si dia memilih pergi meninggalkan kita atau ketika kita benar-benar merasa tak berarti dan mau mengorbankan apa saja demi si dia bahagia meskipun itu membuat kita terluka? Entahlah, jika ditanya lagi akan ada jutaan rangkaian kata indah untuk jawaban pertanyaan tentang cinta dari setiap jiwa. Namun yang pasti cinta adalah anugerah terindah yang dititipkan Sang Maha Cinta di hati setiap hambanya.
Tentang cinta? Juga acapkali menjungkir balikkan saya. Tragedi asmara di masa putih abu-abu bersamanya mampu membuat saya vakum selama 2,5 tahun, menutup hati, membutakan mata untuk mereka yang coba hadir tawarkan rasa. Namun awal tahun lalu “Cinta” kembali menghinggapi ranting hati saya. haha... Seseorang yang dulu pernah saya inginkan berhasil mendobrak pintu hati saya yang tlah lama terkunci, namun karena “Cinta” seperti yang diungkapkan Kahlil Gibran “pabila cinta memanggilmu... ikutilah dia walau jalannya berliku-liku... dan pabila sayapnya merangkummu pasrahlah serta menyerah... walau pedang tersembunyi di sela sayap itu melukaimu...” Setelah coba dijalani selama beberapa bulan, ternyata ada beberapa perbedaan visi dan misi kami hingga akhirnya memutuskan untuk tak lagi bersama. Entah apa yang tengah terjadi dengan hati saya, tak butuh waktu lama ruang hati yang kosong selepas kepergiannya berhasil di tempati oleh sahabat kecil saya, yang kami memang dekat. Dia tempat curhat saya, dan saya juga tempat curhat dia. Saya tidak tahu kapan tepatnya benih-benih cinta itu bersemi, dan realita kami tlah bersama dalam ikatan pacaran. Seperti muda-mudi lain yang tengah dilanda badai asmara, sebagian besar waktu saya tersita hanya untuk memikirkan dan ingin bersamanya.
Akhir Agustus lalu, walau terasa berat saya harus pergi meninggalkannya untuk melanjutkan studi saya kembali ke ibu kota provinsi. Dia melepas kepergian saya, kami mengucap berbagai pesan dan janji untuk tetap bersama meski waktu dan jarak memisahkan kami sementara. Saya berangkat dengan penuh keyakinan bahwa saya akan mengingat pesan dan janji serta menjaga kepercayaannya. Dan saya juga berharap dia akan melakukan hal yang sama. Karena memang saya tlah meyakinkan hati saya bahwa saya ingin memilihnya untuk menjadi cinta terakhir di hidup saya, sebab saat itu saya benar-benar tlah melihat ketulusan dan keseriusannya kepada saya. Sikap dan tingkah mampu menyakinkan saya dan keluarga saya. Seiring berjalannya waktu, ternyata jarak mampu membangkitkan naluri egoisme di diri kami. Saya bertahan dengan sikap egois saya, sehingga saya hadir sebagai pribadi yang sangat over protek dan possesif. Jika sehari saja tak ada kabar, maka akan berujung dengan pertengkaran. Setiap waktu, keberadaan dan kegiatannya selalu saya curigai.
Hingga pertengahan bulan lalu dikepulangan saya, dipertemuan terakhir yang saya minta pasca pertengkaran akhir september lalu dengan permintaan maaf ia memutuskan untuk tak lagi bersama dan pergi meninggalkan saya. Saya tidak menahan kepergiannya, karena memang saya merasa ini terjadi karena salah saya dan dia pun juga tlah menemukan pengganti saya. Meski sangat menyakitkan, saya ikhlas dan berdo’a semoga dia bisa bahagia bersama dia, kekasih barunya. Saya menangis lagi karena kehilangan sahabat dan kekasih terbaik saya. Lagi-lagi, ini karena cinta. Haha...
Saya benar-benar kehilangan arah pasca kejadian itu. Sampai-sampai saya menyiksa diri, saya sering menangis dan lupa makan. Orang tua saya khawatir, saya diprotes karena badan saya semakin kurus. Setiap ada yang bertanya bagaimana hubungan saya dengan dia, saya selalu menangis dan curhat. Namun berkat curhat dan nasehat dari orangtua, kakak, dan teman-teman saya serta motivasi diri yang kuat yang selalu coba saya tanamkan di dalam diri saya saat ini saya tlah mampu bangkit kembali. Saya yang dulu tlah kembali lagi, saya tlah mampu merelakan apa yang terjadi karena memang di dalam hidup ini tak ada yang bisa dipaksakan. Rezeki, jodoh, kematian adalah rahasia Illahi. Allahlah yang Maha Kuasa, Dia yang membolak-balikkan hati kita. Kita sebagai manusia hanya bisa berusaha dan berdo’a, dan Allah tahu apa yang terbaik untuk kita. Biarkan semua terjadi seperti seharusnya, Allah tidak suka sesuatu yang berlebihan. Tentang cinta? Jangan pernah mencintai sesuatu melebihi cinta kita kepada Allah. Ibarat kereta api merangkak menyusuri rel, sedikit saja melenceng keluar dari rel maka kereta akan jatuh. Begitupun hidup, jangan pernah keluar dari batas. Berjalanlah di rel yang di Ridhoi Allah. (Era Susanti)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar