Seperti Seharusnya
Cinta?
Ya. kata ini yang seakan merajai hati dan hidup kita. Seperti kata pujangga,
hidup tanpa cinta bagai sayur tanpa garam. Hambar, hampa, dan seakan tak
berwarna. Lalu muncul lagi pertanyaan, apa sebenarnya cinta? Perasaan dag, dig, dug di hati saat bertemu si dia atau ketika kita memilih hidup
bersama si dia dengan menerima
kelebihan dan kekurangannya atau ketika kita mengikhlaskan si dia yang kita inginkan untuk hidup bahagia bersama orang lain
atau ketika kita menjatuhkan air mata saat si
dia memilih pergi meninggalkan kita atau ketika kita benar-benar merasa tak
berarti dan mau mengorbankan apa saja demi si
dia bahagia meskipun itu membuat kita terluka? Entahlah, jika ditanya lagi
akan ada jutaan rangkaian kata indah untuk jawaban pertanyaan tentang cinta
dari setiap jiwa. Namun yang pasti cinta adalah anugerah terindah yang
dititipkan Sang Maha Cinta di hati setiap hambanya.
Tentang
cinta? Juga acapkali menjungkir balikkan saya. Tragedi asmara di masa putih
abu-abu bersamanya mampu membuat saya vakum selama 2,5 tahun, menutup hati,
membutakan mata untuk mereka yang coba hadir tawarkan rasa. Namun awal tahun
lalu “Cinta” kembali menghinggapi ranting hati saya. haha... Seseorang yang dulu
pernah saya inginkan berhasil mendobrak pintu hati saya yang tlah lama
terkunci, namun karena “Cinta” seperti yang diungkapkan Kahlil Gibran “pabila cinta
memanggilmu... ikutilah dia walau jalannya
berliku-liku... dan pabila sayapnya merangkummu pasrahlah serta menyerah...
walau pedang tersembunyi di sela sayap itu melukaimu...”
Setelah coba dijalani selama
beberapa bulan, ternyata ada beberapa perbedaan visi dan misi kami hingga akhirnya
memutuskan untuk tak lagi bersama. Entah apa yang tengah terjadi dengan hati
saya, tak butuh waktu lama ruang hati yang kosong selepas
kepergiannya berhasil di tempati oleh sahabat kecil saya, yang kami memang
dekat. Dia tempat curhat saya, dan saya juga tempat curhat dia. Saya tidak tahu
kapan tepatnya benih-benih cinta itu bersemi, dan realita kami tlah bersama
dalam ikatan pacaran. Seperti muda-mudi lain yang tengah dilanda badai asmara,
sebagian besar waktu saya tersita hanya untuk memikirkan dan ingin bersamanya.
Akhir
Agustus lalu, walau terasa berat saya harus pergi meninggalkannya untuk
melanjutkan studi saya kembali ke ibu kota provinsi. Dia melepas kepergian
saya, kami mengucap berbagai pesan dan janji untuk tetap bersama meski waktu
dan jarak memisahkan kami sementara. Saya berangkat dengan penuh keyakinan
bahwa saya akan mengingat pesan dan janji serta menjaga kepercayaannya. Dan
saya juga berharap dia akan melakukan hal yang sama. Karena memang saya tlah
meyakinkan hati saya bahwa saya ingin memilihnya untuk menjadi cinta terakhir
di hidup saya, sebab saat itu saya benar-benar tlah melihat ketulusan dan keseriusannya
kepada saya. Sikap dan tingkah mampu menyakinkan saya dan keluarga saya. Seiring
berjalannya waktu, ternyata jarak mampu membangkitkan naluri egoisme di diri
kami. Saya bertahan dengan sikap egois saya, sehingga saya hadir sebagai
pribadi yang sangat over protek dan possesif. Jika sehari saja tak ada
kabar, maka akan berujung dengan pertengkaran. Setiap waktu, keberadaan dan
kegiatannya selalu saya curigai.
Hingga
pertengahan bulan lalu dikepulangan saya, dipertemuan terakhir yang saya minta
pasca pertengkaran akhir september lalu dengan permintaan maaf ia memutuskan
untuk tak lagi bersama dan pergi meninggalkan saya. Saya tidak menahan
kepergiannya, karena memang saya merasa ini terjadi karena salah saya dan dia
pun juga tlah menemukan pengganti saya. Meski sangat menyakitkan, saya ikhlas
dan berdo’a semoga dia bisa bahagia bersama dia, kekasih barunya. Saya menangis
lagi karena kehilangan sahabat dan kekasih terbaik saya. Lagi-lagi, ini karena
cinta. Haha...
Saya
benar-benar kehilangan arah pasca kejadian itu. Sampai-sampai saya menyiksa
diri, saya sering menangis dan lupa makan. Orang tua saya khawatir, saya
diprotes karena badan saya semakin kurus. Setiap ada yang bertanya bagaimana
hubungan saya dengan dia, saya selalu menangis dan curhat. Namun berkat curhat
dan nasehat dari orangtua, kakak, dan teman-teman saya serta motivasi diri yang
kuat yang selalu coba saya tanamkan di dalam diri saya saat ini saya tlah mampu
bangkit kembali. Saya yang dulu tlah kembali lagi, saya tlah mampu merelakan apa
yang terjadi karena memang di dalam hidup ini tak ada yang bisa dipaksakan.
Rezeki, jodoh, kematian adalah rahasia Illahi. Allahlah yang Maha Kuasa, Dia
yang membolak-balikkan hati kita. Kita sebagai manusia hanya bisa berusaha dan
berdo’a, dan Allah tahu apa yang terbaik untuk kita. Biarkan semua terjadi
seperti seharusnya, Allah tidak suka sesuatu yang berlebihan. Tentang cinta?
Jangan pernah mencintai sesuatu melebihi cinta kita kepada Allah. Ibarat kereta
api merangkak menyusuri rel, sedikit saja melenceng keluar dari rel maka kereta
akan jatuh. Begitupun hidup, jangan pernah keluar dari batas. Berjalanlah di
rel yang di Ridhoi Allah. (Era Susanti)