Dempung Darah Kami Saat Musim Hujan
“Penghujan hari sekarang, kadang rusuh pula hati dibuatnya, padahal hujan
adalah rahmat. Di Padang, jika hari sudah hujan lebat, darah berdempung, bisa
banjir besar atau paling tidak jalan tergenang”, kata pak Khairul Jasmi mengawali ceritanya tentang “Hujan” di wasit
garis Singgalang akhir tahun lalu (11
November 2012). Saya tersenyum membacanya. Wasit garis adalah salah satu
tulisan yang saya tunggu hadirnya setiap Minggu, setelah tulisan saya, hehe...
saya suka membaca tulisan pak KJ, bahasanya sederhana, humoris, tapi syarat
makna. Beliau adalah salah seorang penulis idola saya. Waktu novelnya “Lonceng
Cinta Di Sekolah Guru” terbit maret tahun lalu, waktu itu saya juga mendapat
tugas kuliah menganalisis Novel terbitan terbaru, ketika pergi mencari novel ke
toko buku, mata saya juga tertuju pada Novelnya, tapi sayang harganya mahal,
maklum. Karena memang diterbitkan oleh Penerbit ternama di Negeri ini. Setelah
menghitung-hitung isi kantong, akhirnya saya mengurungkan niat saya untuk
membelinya dan membeli novel yang lain saja. Namun saya cukup cerdik, tapi
mungkin masih kalah oleh kancil dalam cerita fabel. Hehe... Saya membujuk teman
saya untuk membelinya, dan akhirnya beliau mau, maka setelah ia selesai
membacanya saya pun mengambil nomor antri pertama untuk meminjamnya, setelah
membaca, novel tersebut saya resensi, dan Alhamdulillah diterbitkan pula.
Hehe...
Sekarang juga musim hujan, berita
tentang banjir hampir setiap hari mengisi surat kabar dan layar kaca. Bangunan,
harta, bahkan nyawa tlah dihanyutkannya. Namun untung, Masyarakat kita masih memiliki rasa kepedulian
terhadap sesama, berbagai bantuan dan upaya telah dilakukan untuk membantu
saudara kita yang terkena musibah tersebut. Bantuan moril dan materil telah
diupayakan oleh berbagai pihak, baik Pemerintah/Swasta, Ormas, Ormawa maupun
individu lainnya. Semoga musibah ini cepat berlalu dan saudara kita bisa
tersenyum kembali menjalani hari-harinya. Menikmati hidup seperti biasanya, dan
diberi kesabaran dan keikhlasan menerima semua cobaan ini. Meyakini bahwa ini
rencana Allah, semua kan ada hikmahnya. Amin.
Selain “darah berdempung karena
takut banjir atau jalan tergenangi air” seperti kata Pak KJ, saya juga punya
cerita tentang musim hujan. Sudah seminggu ini, amak dan uni saya hanya di
rumah berkumpul bersama kami (saya dan keponakan saya), biasanya subuh mereka
sudah berangkat ke kebun untuk menyadap karet. Tapi tidak seminggu ini, mereka
hanya di rumah, namun nampak dari raut wajahnya bahwa hatinya tidak tenang dan
rusuh. Sambil berkata, “bekpo la mangko
o, lundo nyan dapek motong li de. Aghi ujan tarui ye, ntah dapek ta idak era ko
balek k padang suk li. Ongkos ye dapek suk lu jadi ye la.” (entah bagaimana
lah, belum ada dapat menyadap. Hari hujan terus, ntah dapat, ntah tidak era ini
pergi ke padang lagi. Ongkosnya saja dapat besok dulu, jadilah) Kata amak saya
kepada makwo saya beberapa hari yang lalu.
Jika hari sudah musim penghujan di
kampung saya, hanya mereka yang bekerja sebagai PNS, pedagang, pengusaha atau
karyawan yang tidak berdempung darahnya. Selebihnya pasti mengalami kegalauan
yang luar biasa. Karena sebagian besar mata pencarian penduduk di kampung saya
adalah sebagai petani karet. Jika hari hujan, karet tidak bisa disadap. Jika
tidak pergi menyadap, otomatis penghasilan tidak ada. Jika tidak ada
penghasilan, bagaimana bisa melanjutkan hidup? Bagaimana bisa makan, bagaimana
membayar tagihan listrik, bagaimana membayar uang sekolah/kuliah anak,
bagaimana memenuhi kebutuhan hidup lainnya?
Dempung darah itu akan dirasakan sangat hebat
oleh para orangtua yang anaknya kuliah di Negeri orang, sama seperti yang
dirasakan oleh amak saya. bagaimana hendak mengirimi anaknya uang, jika uang
tidak dikirim bagaimana anaknya bisa makan dan bertahan hidup di negeri orang? Jika
anak ada di rumah bersama orangtua, tentu orangtuanya tidak akan terlalu risau,
sebab jika orangtua makan anak pasti juga akan makan. Tapi jika anak jauh di
Negeri orang, jika tidak ada uang. Tentu tidak akan makan. Dempung darah itu tidak
hanya dirasakan oleh para orangtua, tetapi juga oleh anak. Jika kuliah di
negeri orang, uang dibutuhkan tidak hanya untuk makan, tetapi segala sesuatunya
butuh uang. Tugas kuliah menggunung untuk diprint, ongkos ke kampus, membeli
peralatan mandi, dll. Kegalauan ini selalu kami rasakan setiap musim penghujan
dengan beberapa teman saya yang orangtuanya juga bermata pencarian sebagai
petani karet. Tapi jika masih ingin tetap melanjutkan kuliah, harus bertahan
dan bersabar dengan keadaan ini. Sabar, ya! Untuk meraih kesuksesan memang
banyak cobaan dan rintangan yang harus dilalui.
Begitu sedikit cerita saya
tentang hujan, menyambung cerita pak KJ akhir tahun lalu. Saat musim hujan tlah
tiba, darah kami (amak saya, saya, teman-teman saya dan para orangtuanya yang
juga petani karet) berdempung semakin deras. Kami sangat cemas hanyut dan larut
bersama hujan. Walau bagaimanapun hujan adalah Rahmat, dan kita harus
mensyukuri Rahmat yang diberikan Allah. Jika saat ini hujan menggalaukan hidup
kita, mungkin ia hadir sebagai cobaan, cobaan menguji kesabaran. Kesabaran yang
apabila kita sanggup mempertahankannya akan berbuah manis. “Hujan akan selalu ada meski terkadang ia membuat kita resah dan takut”
Kata pujangga yang saya copas di
jejaring sosial. (Era Susanti)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar