Selasa, 29 Januari 2013

Musim Penghujan (Rahmat dan Cobaan)



Dempung Darah Kami Saat Musim Hujan

“Penghujan hari sekarang, kadang rusuh pula hati dibuatnya, padahal hujan adalah rahmat. Di Padang, jika hari sudah hujan lebat, darah berdempung, bisa banjir besar atau paling tidak jalan tergenang”, kata pak Khairul Jasmi mengawali ceritanya tentang “Hujan” di wasit garis Singgalang akhir tahun lalu (11 November 2012). Saya tersenyum membacanya. Wasit garis adalah salah satu tulisan yang saya tunggu hadirnya setiap Minggu, setelah tulisan saya, hehe... saya suka membaca tulisan pak KJ, bahasanya sederhana, humoris, tapi syarat makna. Beliau adalah salah seorang penulis idola saya. Waktu novelnya “Lonceng Cinta Di Sekolah Guru” terbit maret tahun lalu, waktu itu saya juga mendapat tugas kuliah menganalisis Novel terbitan terbaru, ketika pergi mencari novel ke toko buku, mata saya juga tertuju pada Novelnya, tapi sayang harganya mahal, maklum. Karena memang diterbitkan oleh Penerbit ternama di Negeri ini. Setelah menghitung-hitung isi kantong, akhirnya saya mengurungkan niat saya untuk membelinya dan membeli novel yang lain saja. Namun saya cukup cerdik, tapi mungkin masih kalah oleh kancil dalam cerita fabel. Hehe... Saya membujuk teman saya untuk membelinya, dan akhirnya beliau mau, maka setelah ia selesai membacanya saya pun mengambil nomor antri pertama untuk meminjamnya, setelah membaca, novel tersebut saya resensi, dan Alhamdulillah diterbitkan pula. Hehe...
Sekarang juga musim hujan, berita tentang banjir hampir setiap hari mengisi surat kabar dan layar kaca. Bangunan, harta, bahkan nyawa tlah dihanyutkannya. Namun untung,  Masyarakat kita masih memiliki rasa kepedulian terhadap sesama, berbagai bantuan dan upaya telah dilakukan untuk membantu saudara kita yang terkena musibah tersebut. Bantuan moril dan materil telah diupayakan oleh berbagai pihak, baik Pemerintah/Swasta, Ormas, Ormawa maupun individu lainnya. Semoga musibah ini cepat berlalu dan saudara kita bisa tersenyum kembali menjalani hari-harinya. Menikmati hidup seperti biasanya, dan diberi kesabaran dan keikhlasan menerima semua cobaan ini. Meyakini bahwa ini rencana Allah, semua kan ada hikmahnya. Amin.
Selain “darah berdempung karena takut banjir atau jalan tergenangi air” seperti kata Pak KJ, saya juga punya cerita tentang musim hujan. Sudah seminggu ini, amak dan uni saya hanya di rumah berkumpul bersama kami (saya dan keponakan saya), biasanya subuh mereka sudah berangkat ke kebun untuk menyadap karet. Tapi tidak seminggu ini, mereka hanya di rumah, namun nampak dari raut wajahnya bahwa hatinya tidak tenang dan rusuh. Sambil berkata, “bekpo la mangko o, lundo nyan dapek motong li de. Aghi ujan tarui ye, ntah dapek ta idak era ko balek k padang suk li. Ongkos ye dapek suk lu jadi ye la.” (entah bagaimana lah, belum ada dapat menyadap. Hari hujan terus, ntah dapat, ntah tidak era ini pergi ke padang lagi. Ongkosnya saja dapat besok dulu, jadilah) Kata amak saya kepada makwo saya beberapa hari yang lalu.
Jika hari sudah musim penghujan di kampung saya, hanya mereka yang bekerja sebagai PNS, pedagang, pengusaha atau karyawan yang tidak berdempung darahnya. Selebihnya pasti mengalami kegalauan yang luar biasa. Karena sebagian besar mata pencarian penduduk di kampung saya adalah sebagai petani karet. Jika hari hujan, karet tidak bisa disadap. Jika tidak pergi menyadap, otomatis penghasilan tidak ada. Jika tidak ada penghasilan, bagaimana bisa melanjutkan hidup? Bagaimana bisa makan, bagaimana membayar tagihan listrik, bagaimana membayar uang sekolah/kuliah anak, bagaimana memenuhi kebutuhan hidup lainnya?
Dempung darah itu akan dirasakan sangat hebat oleh para orangtua yang anaknya kuliah di Negeri orang, sama seperti yang dirasakan oleh amak saya. bagaimana hendak mengirimi anaknya uang, jika uang tidak dikirim bagaimana anaknya bisa makan dan bertahan hidup di negeri orang? Jika anak ada di rumah bersama orangtua, tentu orangtuanya tidak akan terlalu risau, sebab jika orangtua makan anak pasti juga akan makan. Tapi jika anak jauh di Negeri orang, jika tidak ada uang. Tentu tidak akan makan. Dempung darah itu tidak hanya dirasakan oleh para orangtua, tetapi juga oleh anak. Jika kuliah di negeri orang, uang dibutuhkan tidak hanya untuk makan, tetapi segala sesuatunya butuh uang. Tugas kuliah menggunung untuk diprint, ongkos ke kampus, membeli peralatan mandi, dll. Kegalauan ini selalu kami rasakan setiap musim penghujan dengan beberapa teman saya yang orangtuanya juga bermata pencarian sebagai petani karet. Tapi jika masih ingin tetap melanjutkan kuliah, harus bertahan dan bersabar dengan keadaan ini. Sabar, ya! Untuk meraih kesuksesan memang banyak cobaan dan rintangan yang harus dilalui.
Begitu sedikit cerita saya tentang hujan, menyambung cerita pak KJ akhir tahun lalu. Saat musim hujan tlah tiba, darah kami (amak saya, saya, teman-teman saya dan para orangtuanya yang juga petani karet) berdempung semakin deras. Kami sangat cemas hanyut dan larut bersama hujan. Walau bagaimanapun hujan adalah Rahmat, dan kita harus mensyukuri Rahmat yang diberikan Allah. Jika saat ini hujan menggalaukan hidup kita, mungkin ia hadir sebagai cobaan, cobaan menguji kesabaran. Kesabaran yang apabila kita sanggup mempertahankannya akan berbuah manis. “Hujan akan selalu ada meski terkadang ia membuat kita resah dan takut” Kata pujangga yang saya copas di jejaring sosial. (Era Susanti)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar