Rabu, 15 Februari 2012

Cerpen Era Susanti

Mimpi  Lilin Kecil

Penderitaan itu berawal, saat Lilin seorang gadis yang baru berusia 5 tahun harus menerima kenyataan yang sama sekali belum ia mengerti. Kedua orangtuanya bercerai, ia hanya bisa pasrah tanpa mampu berbuat apa-apa. Apa yang tengah terjadi di keluargaku? Kenapa ayah sudah tak pernah terlihat lagi di rumah? Kemana ayah? Mengapa ibu menangis? Bisik Lilin dalam hati tanpa berani bertanya kepada ibunya apa sebenarnya yang telah terjadi di dalam keluarga mereka.
Seiring berjalannya waktu, Lilin akhirnya bisa mengerti apa yang terjadi dengan keluarganya. Semenjak perceraian itu, ibunyalah yang harus membanting tulang bekerja untuk menghidupi Lilin dan tiga orang kakaknya. Sedangkan ayahnya menghilang bak ditelan bumi tanpa sedikitpun memikirkan keadaan Lilin dan kakak-kakaknya.
Setiap paginya, saat Lilin bangun hendak berangkat ke sekolah. Ia tak mendapati lagi sosok wanita paruh baya itu di rumah. Namun tidak pagi ini, ia melihat ibunya masih menggulung badannya dengan selimut tebal di tempat tidur, dan terdengar desah nafas serta uring-uringan menahan sakit. Lilin panik” ibu, ibu kenapa? Ibu sakit?” Tanya Lilin sambil merangkul dan meraba kening ibunya. “ badan ibu panas sekali, ibu harus berobat”. Namun ibunya menjawab,”ibu tidak apa-apa nak, berangkatlah ke sekolah, Lilin harus jadi orang sukses” ucap ibunya sambil menghapus tetesan airmata yang mengalir di pipinya. “tapi ibu sakit, Lilin mau menjaga ibu di rumah” ucap Lilin sambil menangis. “sudahlah nak, ibu tidak apa-apa. Berangkatlah nanti Lilin terlambat, kan ada kakakmu yang menjaga ibu di rumah.” Bujuk ibunya agar Lilin mau berangkat ke sekolah.
Dengan langkah gontai, Lilin berangkat ke sekolah karena ia tidak mau mengecewakan ibunya. Di jalan, sejuta tanya menumpuk di benak Lilin. Apa yang bisa ia lakukan untuk membahagiakan ibunya? Kenapa ayah yang seharusnya bertanggungjawab atas hidupnya menghilang tanpa rasa bersalah sedikitpun. Semua ini salah ayah,,,aku benci ayah...!!! teriak Lilin tanpa sadar.
Semenjak perceraian itu, ayahnya sudah tidak pernah lagi menampakkan batang hidungnya ke rumah Lilin. Lilin sudah tidak pernah lagi mendapat nafkah dari ayahnya, bahkan kabar, dimana ayahnya berada ia sudah tidak tahu lagi. Semua tanggungjawab ayah di bebankan kepada ibunya. Wajar rasanya muncul kekecawaan dalam diri gadis yang mulai beranjak remaja itu terhadap sosok ayahnya.
Tanpa terasa, langkah Lilin memasuki gerbang sekolah dimana ia menuntut ilmu setiap harinya. Di kelas, sejak pelajaran dimulai, hingga waktu istirahat, dan bahkan pelajaran berakhir. Lilin murung, pemikirannya masih dikuasai oleh bayangan ibunya yang terbaring sakit di rumah, tak satu halpun yang dilakukan temannya yang mampu menarik perhatiannya.”teng,,,teng,,,teng...!!! pelajaran berakhir semua boleh pulang” kata ketua kelas. Karena hari ini, bu Suci guru mata pelajaran Agama tidak masuk, ia meninggalkan tugas menghapal ayat pendek untuk ujian praktek minggu depan. Dengan bergegas Lilin mengemasi peralatan belajarnya dan berlari keluar kelas.
Perjalanan pulang Lilin pun kembali dipenuhi bayangan akan ibunya. Aku harus melakukan sesuatu untuk ibu, ibu harus sembuh...!!terasa ada sesuatu yang menekan di dada Lilin, menyuruh melakukan sesuatu untuk ibunya. Lilin akhirnya sampai di rumah, di lihatnya ada obat di samping tempat tidur ibunya dan sepiring nasi yang tengah di suap perlahan oleh ibunya. “ Ibu gimana, udah mendingan? Ibunya menjawab dengan senyuman,” ibu udah mendingan sayang, tadi sebelum berangkat kerja kakakmu membelikan ibu obat. Sudah, kamu gak usah khawatir. Bentar lagi ibu pasti sembuh, ok..?? Lilin pun tersenyum.
Malam harinya, di kamar Lilin masih memikirkan ibunya. Ibu...?? ingatan Lilin kembali lagi memutar ke kejadian 10 tahun silam, saat awal penderitaan ibunya. Beban empat orang anak harus di tanggung sendiri oleh seorang petani wanita paruh baya itu. Sanak family tak seorangpun yang peduli, bahkan hinaan dan cacian yang sering di dapatkan dari mereka. Setiap hari sebelum fajar menampakkan sinarnya, wanita paruh baya itu sudah harus berangkat ke kebun. Memotong karet peninggalan orangtuanya dulu, pendapatan yang jauh dari cukup. Masih ia sisihkan untuk biaya sekolah Lilin putri bungsunya, sedangkan kakak-kakak Lilin tak seorangpun yang bisa menamatkan SD karna sulitnya hidup. Namun Lilin jauh lebih beruntung dari mereka. Lilin saat ini telah duduk di bangku kelas 3 SMP.
Aku harus bisa merubah semuanya, takkan ada lagi tangisan. Ini mimpiku, ibu harus bahagia dan tak seorangpun yang bisa menyakiti ibu... tak seorangpun... kakak, kita harus bersama-sama melindungi ibu. Aku harus SUKSES,,,SUKSES,,,SUKSES,,,!!! Coretan-coretan kecil yang ditulis Lilin tentang mimpinya yang berharap menjadi pelindung, pelita dan penerang bagi keluarganya. Lilin terlelap dalam tidurnya dengan berjuta mimpi dan harapannya.
Akankah mimpi Lilin kecil yang berharap Lentera hidup bagi keluarganya ini bisa terwujud...??? Hanya Lilin dengan kesungguhannya dan waktu yang bisa menjawabnya serta ridho Yang Maha Kuasa. Tetaplah semangat wahai Lilin kecil, meski waktu akan mampu melenyapkanmu dalam sekejap saja. Setidaknya kau lebur demi menerangi orang-orang yang kau sayangi. Jangan pernah menyerah, Ingat...” dimana ada kemauan, di situ pasti ada jalan”.
Persembahan kecil untuk amakku tercinta, ILU...IMU...and INU( i lup u,i miss u, and i need u) forever mak...!!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar