Selasa, 08 Mei 2012

Cerpen


Karena Mak, dan Demi Mak 
Era Susanti

Samudera nampaknya begitu lapar. Menelan bulat-bulat sang mentari, hingga sinarnya tenggalam di dasar lautan. Senja itu Kartini pulang, berlari menembus gemuruh di tengah hujan badai.
Kartini: “ Mak… Mak… Tini pulang, bukain Tini pintu mak..!!!
Mak: “ uhuk...huk...iya, tunggu sebentar nak...”
Kartini pulang basah kuyup senja itu, mak membukakan Kartini pintu sembari berkata:
Mak: “ kenapa gak ditunggu dulu hujannya redah baru pulang piak, nanti sakit. Mak gak punya uang untuk bawa kamu berobat ke rumah sakit.” Upiak, begitulah Kartini dipanggil ibunya. Upiak   merupakan panggilan sayang orangtua kepada anak gadisnya di Bumi Ranah Minang.
Kartini: “ Tini bukan gadis manja mak, tini ini kuat. Tini sudah tahan banting, mak gak usah khawatirkan Tini. Penyakit gak kan mau menghinggapi tubuh tini, gak betah dia mak.haha...oya, mak udah makan? Nih, Tini bawain sate “Balikan Awak” kesukaan mak. Tadi penghasilan Tini lumayan, karena hari pasar banyak kendaraan pribadi parkir. PEMDA cukup lihai sepertinya membaca sitkon, hari pasar dibuat pas hari libur. PNS dan ibu pejabat di sini masih menggemari pasar tradisonal, mungkin karena belum ada  mall seperti di kota-kota besar itu. Tapi tak lagi 5 atau 10 tahun nanti, karena Kabupaten hasil pemekaran ini akan semakin maju. Kalau sudah ada Super Market atau mall pasti pasar tradisonal akan kehilangan pesonanya.”
Mak: “ ah, kamu bisa aja piak. Belum tentu, mana tau ibu-ibu PNS dan ibu pejabat itu sudah terlanjur jatuh cinta pada pasar tradisional karena selain harganya yang murah, juga masih bisa ditawar dan kualitas barang yang diperjual belikan juga bagus. Seperti sayurannya segar-segar, ikan dan danging begitu bervariasi dan buah-buah yang dijual juga tak kalah kualitasnya dengan buah import yang dijual di mall-mall. Hanya tempatnya saja yang berbeda.” Celoteh mak sambil membuka dan melahap sate yang dibawakan Kartini untuknya.
Kartini: “ mak kan gak tahu, bagaimana hidup orang kaya. Mereka itu suka yang instan mak. Gak seperti kita rakyat miskin ini. Bagi mereka harga gak penting, yang penting kualitas dan pelayanan. Mana mau mereka pergi ke pasar tradisional yang jika hujan beceknya minta ampun. Lumpur bisa menggerogoti sepatu mengkilap mereka. Bagus lah pergi ke mall, yang tempatnya mentereng, aromanya begitu menggoda serta desain yang memanjakan mata. Soal harga mana mereka peduli, tak seperti kita yang harus mengumpulkan uang receh, hanya untuk bisa membeli segantang beras kualitas paling bawah, seikat sayur pucuk ubi, dan beberapa potong tempe di tambah se-ons ikan maco untuk dimasak buat sambal yang hanya akan ganti menu jika sambal itu tlah kering kerontang. Begitulah mak, di negeri kita ini nampak sekali perbedaan antara si kaya dan si  miskin.”
Mak: “ Mak paham piak, maafkan mak ya? Yang gak bisa memanjakanmu. Jangankan untuk membelikan semua keinginan dan kebutuhanmu. Untuk makan sehari-hari saja mak kadang tak mampu mencukupinya. Seandainya saja ayahmu masih hidup piak, pasti kau takkan semenderita ini.”
Kartini: “ Mak, maafkan Tini. Tini gak bermaksud membuat mak sedih. Tini bahagia kok, walaupun hidup apa adanya. Karena masih mempunyai mak, adalah kebahagiaan terbesar dalam hidup Tini.”
            Mak mengusap airmata yang tak mampu ia bendung. Aku tertegun, dan tak sanggup pula  ku bendung airmataku, hatiku seakan teriris menyaksikan badai yang turun dari matanya. Ya, kami sama-sama larut dalam kenangan tentang sosok ayah. Ayahku adalah seorang suami yang baik untuk ibu, dan ayah yang bertangggung jawab untukku dan sangat menyayangi kami. Aku  ingat waktu dulu ayah masih hidup, subuh-subuh ayah sudah bangun, shalat subuh langsung ke pasar tanpa sarapan, berpacu menampakkan sinarnya dengan sang fajar. Begitulah ayah, ia adalah sosok pekerja keras. Ayahku dulu adalah seorang tukang angkut di pasar tradisional, dengan menungggangi becak ia menawarkan jasa angkut kepada pedagang-pedagang di pasar.
Namun suatu hari ayahku yang sangat kuat itu, ku saksikan terkapar di tengah jalan raya, darah mengalir deras di kepalanya. Sederas aliran sungai yang membatasi kampungku dengan pasar tradisional itu. Menurut saksi mata, ayah di tabrak sebuah truk yang tak bertanggung jawab. Sopir truk itu melarikan diri, dan penduduk yang terperangah melihat kejadian itu juga tak sempat mencatat plat nomor truk tersebut. Maka jadilah ayahku korban tabrak lari, yang merenggut nyawanya di tempat. Darahku seakan berhenti mengalir saat menerobos kerumanan massa yang menyaksikan ayahku terkapar sudah tak bernyawa. Dan ibuku yang waktu itu di rumah, mendapat kabar tentang ayah langsung pingsan tak sadarkan diri hingga beberapa jam. Kejadian itu masih terekam jelas di benakku. Kejadian yang merenggut kebahagiaan aku dan ibu.
            Saat ini aku hanya mempunyai ibu, dan ibu hanya punya aku. Ya, memang hanya ada aku dan ibu saat ini, karena aku anak tunggal yang tak berkakak dan tak beradik. Karena itulah, ibu selalu kesepian saat aku berangkat ke pasar melakoni peranku sebagi tukang parkir. Sedangkan ayah, aku sangat yakin ia tlah berada di tempat terindah. Tempat yang telah di persiapkan TUHAN untuk orang-orang pilihan. Orang yang semasa hidupnya mampu bertanggung jawab atas kodratnya sebagai khalifah di muka bumi ini. Ya, ayahku adalah orang yang sangat bertanggung jawab dan patuh terhadap semua perintah TUHAN. Pernah sekali dulu, ayah sakit parah namun ia tetap melaksanakan sholat. Ayah sangat sering puasa senin dan kamis. Ia selalu menjadi imam aku dan ibu saat shalat maghrib, isha dan subuh. Begitulah ayahku, aku sangat merindukannya. Namun kejadian tabrak lari itu, membuat ia harus meninggalkan kami untuk selamanya. Aku sangat merindukan ayah.
*****
            Pagi ini aku tidak pergi ke pasar, karena kurang enak badan. Aku berpesan pada mak yang hendak ke warung untuk mengatakan pada uda ujang bahwa hari aku tidak bisa ke pasar. Uda ujang adalah temanku sesama tukang parkir, kami selalu membagi dua wilayah pasar yang dijadikan tempat parkir. Kadang aku di selatan, uda ujang di utara. Begitu sebaliknya, begitupun hasilnya kami bagi rata. Tak begitu lama mak ke warung, karena mak ke warung hanya membeli korek api untuk menghidupkan tungku, sebab korek api mak sering kali dihanyutkan air saat hujan.
Mak: “ sudah mak sampaikan pesan kamu pada ujang piak,”
Mak masuk ke dalam bilik sambil memastikan keadaan Kartini, suhu badan Kartini sangat panas. 
Mak: “ ya ALLAH piak, badan kamu panas sekali. Sudah berulang kali mak katakan. Kalau hari hujan, kamu jangan menerobos langsung pulang. Tunggu hujannya redah dulu. kalau mau mendengar yang mak katakan, kamu takkan sakit. Ya sudah, mak carikan kamu obat dulu ke warung.
Kartini: “ mak, tini gak apa-apa, Tini Cuma demam sedikit. Gak perlu di obat, paling bentar lagi sembuh sendiri.” Kartini memegang tangan maknya, dan melarang mak nya yang hendak membelikannya obat.
Mak: “ piak, saat ini mak hanya mempunyai kamu. Bapakmu tlah lama pergi meninggalkan mak. Mak gak mau kehilangan kamu piak, hanya kamu yang membuat mak kuat menjalani hidup ini” mak menangis tersedu-sedu.
Kartini: “ mak, sampai kapanpun. Tini takkan pernah meninggalkan mak. Kita akan selalu bersama, tini ini kuat mak. Sekuat ibu Kartini, sekuat pemilik nama yang mak berikan pada tini. Mak yang tenang, jangan panik, jangan khawatir. Tini gak kenapa-kenapa. Hanya demam sedikit, dan tak perlu obat. Bentar lagi juga sembuh.”
            Maknya memeluk Kartini erat-erat, seakan tak ingin anak semata wayangnya itu juga pergi meninggalkannya. Meninggalkannya sendiri, dalam sunyi yang ia jalani semenjak suami tercinta meninggal. Kartini tak sanggup menahan tangis, dan ia pun memeluk mak nya erat-erat.
Kartini:” Tini janji, takkan pernah meninggalkan mak. Tini akan selalu bersama dan menjaga mak selamanya.”
Mak: “ Kamu janji, akan bertahan dan selalu bersama mak?”
Kartini: “ iya, Kartini janji mak!”
            Keduanya kembali berpelukan, bak sepasang kekasih yang tlah lama memendam rindu. Seperti sahabat yang tlah lama tak bertemu, dan di pertemukan dalam situasi yang haru.
*****
          Ternyata benar yang di katakan Kartini pada maknya, penyakit tak betah berlama-lama di tubuhnya yang kekar itu. Meski terlahir sebagai wanita, Kartini sangatlah kuat. Dan hari ini Kartini tlah kembali ke pasar menjalani perannya sebagai tukang parkir. “Kiri....kiri....kiri...stop...” teriak Kartini memberi aba-aba kepada pemilik kendaraan yang hendak parkir dan kepada pemilik kendaraan yang hendak meninggalkan tempat parkir, sambil merogoh kocek 2ribu russpiah. Dan seulas senyuman, pertanda terimakasih.


(Kekaguman Penulis Pada Sosok Ibu Kita KARTINI, membuat penulis begitu terinspirasi menggunakan nama tokoh Kartini dalam Cerpen ini, Begitu juga dengan beberapa Artikel yang pernah penulis tulis dengan Tema Wanita selalu mengangkat topik tentang Perjuangan Ibu Kartini, sang pelopor "Habis Gelap Terbitlah Terang" yang telah berjasa mengangkat derajat wanita Indonesia di mata Dunia, Terimakasih ibu Kartini...!!!)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar