NEGERI
SEJUTA SENSASI
Melihat kondisi bangsa saat ini, bingung juga di
buatnya. Sebagai secuil bagian dari masyarakat saya sebenarnya ingin cuek dan
pura-pura tidak tahu, atau tidak mau tahu sama sekali. Saya sangat takut
membicarakan hal seperti ini, saya takut dibilang Sok, awak ketek gaya ka
gadang-gadangan.
Tapi, sungguh tak tegah juga melihat bangsa ini.
Bangsa yang dipimpin dan dikelola para penguasa yang bertubuh dan
bernyawa tapi tampak seakan tak berhati. Ops, jangan salah paham
bapak/ibu yang terhormat. Ini bukan tudingan, namun “seakan tampak” tidak pasti
kebenarannya 100%. Ini hanya asumsi, dan saya yakin bapak/ibu adalah orang yang berhati. Kalau
hati tak ada, pastilah mati.hehe...mati rasa maksudnya.
Rakyat menjerit karena berbagai tingkah dan sensasi yang mereka buat. Bagi mereka yang
memang sudah apatis, apalagi sudah terlanjur memandang negara ini sebagai
negara ilusi atau bahkan negeri tanpa solusi, anggaplah coretan ini sebagai
alarm bagi ungkapan hati saya saja.
Entah apa
sebenarnya yang tengah terjadi di negeri ini, entah karena baru atau sedang belajar
berdemokrasi atau memang tak tahu apa itu demokrasi dalam tatanan bernegara? para pejabat
publik seakan memelintir Republik ini
menjadi rumah tangga pribadi. Di sisi lain, rakyat pun mengira bahwa pengelolaan
republik ini sudah berjalan di atas narasi kekuasaan yang tak terbendung dari
para pejabat Ibu Pertiwi. Dua
hal inilah yang sangat menonjol dalam hidup berdemokrasi dalam 15 tahun
belakangan.
Lihatlah betapa banyak demostrasi yang bahkan tampil
brutal, mulai dari menghantam
dan mengobarak-barik kantor pemerintah, perlawanan sengit terhadap polisi yang
sudah rela meninggalkan keluarga demi negara, hingga menutup akses jalan tol
supaya rakyat lain ikut menganggur dan merugi seperti mereka. Korupsi yang sedang
memonopoli tiap lapisan struktur pemerintahan serta kebijakan-kebijakan sepihak, yang begitu menyiksa rakyat di satu sisi
dan protes berkepanjangan dari masyarakat atas ulah jahat dan laknat bernama
korupsi di sisi lain
seakan harus (bisa) kita mengerti (bukan untuk dipahami apalagi untuk
dimaklumi) dari dua sudut pandang asimetris di atas.
Mengiris!, negara ini tertatih-tatih dalam kengerian yang mencekam Ibu Pertiwi, membuat bulu kuduk merinding, dan mata mengernyit akibat silau oleh perilaku tak terpuji. Di saat rakyat memplesetkan demokrasi sebagai aktivitas berdemonstrasi kendati tahu dan sadar tak akan mendapat solusi, para pejabat negeri juga memplesetkan demokrasi sebagai aksi sarana mencari sensasi. Semua berkicau, tuduh menuduh dan menganggap diri paling benar, seperti ungkapan Bapak “khairul jasmi” bak Murai Batu saja mereka berkicau.
Rakyat tahu bahwa seluruh protes mereka pada
kenyataannya hanya berpangkal tapi tak berujung.
Tapi “siapa itu rakyat ?” menjadi pertanyaan serius juga akhir-akhir ini.
Bayangkan bila se-kelompok orang tertentu serta merta mengklaim diri sebagai
rakyat yang sesungguhnya atau mengklaim diri sebagai representasi rakyat
Indonesia dari Sabang sampai Merauke kendati di saat mereka membakar kantor
polisi, merusak fasilitas umum, mengusir para pengusaha yang telah
mempekerjakan mereka, atau berteriak di jalanan dengan modal dari sang
provokator. Inilah telenovela yang paling tidak lucu di negari ini.
Sangat sulit
di mengerti, semua jajaran di negeri ini tak mau ketinggalan untuk berbicara,
atau berpotret ria. Semua demi eksistensi diri. Baik itu di tv, radio, media
massa lain seperti surat kabar. Semua ingin turut andil bagian. Apa sebenarnya
yang tengah terjadi? negeri ini seakan terlahir untuk sejuta sensasi, dan semua
yang terjadi di negeri ini di umbar di berbagai media massa hingga
Negara-negara tetangga tahu semua tentang Negara kita. Benarkah ini arti
demokrasi, ataukah hanya sejuta sensasi?
Faktanya kepada
rakyat, baik yang aktif berdemonstrasi atau lebih suka melakukan aksi nyata
bagi negeri ini, para pejabat pemerintah berulang-ulang meminta agar rakyat
bersabar, karena demokrasi adalah proses dan bukan ujung dari setiap
pembangunan sebuah negara. Entah siapa
yang benar dan siapa yang hanya merasa diri benar! Haruskah selalu seperti ini? (Era Susanti)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar