Rabu, 28 Maret 2012

Coretan Secuil Harapan "NEGERI SEJUTA SENSASI" (Era Susanti)


NEGERI SEJUTA SENSASI
Melihat kondisi bangsa saat ini, bingung juga di buatnya. Sebagai secuil bagian dari masyarakat saya sebenarnya ingin cuek dan pura-pura tidak tahu, atau tidak mau tahu sama sekali. Saya sangat takut membicarakan hal seperti ini, saya takut dibilang Sok, awak ketek gaya ka gadang-gadangan.
Tapi, sungguh tak tegah juga melihat bangsa ini. Bangsa yang dipimpin dan dikelola para penguasa yang bertubuh dan  bernyawa tapi tampak seakan tak berhati. Ops, jangan salah paham bapak/ibu yang terhormat. Ini bukan tudingan, namun “seakan tampak” tidak pasti kebenarannya 100%. Ini hanya asumsi, dan saya yakin  bapak/ibu adalah orang yang berhati. Kalau hati tak ada, pastilah mati.hehe...mati rasa maksudnya.
Rakyat menjerit karena berbagai tingkah dan  sensasi yang mereka buat. Bagi mereka yang memang sudah apatis, apalagi sudah terlanjur memandang negara ini sebagai negara ilusi atau bahkan negeri tanpa solusi, anggaplah coretan ini sebagai alarm bagi ungkapan hati saya saja.
Entah apa sebenarnya yang tengah terjadi di negeri ini, entah karena baru atau sedang belajar berdemokrasi atau memang tak tahu apa itu demokrasi dalam tatanan bernegara? para pejabat publik seakan memelintir Republik ini menjadi rumah tangga pribadi. Di sisi lain, rakyat pun mengira bahwa pengelolaan republik ini sudah berjalan di atas narasi kekuasaan yang tak terbendung dari para pejabat Ibu Pertiwi. Dua hal inilah yang sangat menonjol dalam hidup berdemokrasi dalam 15 tahun belakangan.
Lihatlah betapa banyak demostrasi yang bahkan tampil brutal, mulai dari menghantam dan mengobarak-barik kantor pemerintah, perlawanan sengit terhadap polisi yang sudah rela meninggalkan keluarga demi negara, hingga menutup akses jalan tol supaya rakyat lain ikut menganggur dan merugi seperti mereka. Korupsi yang sedang memonopoli tiap lapisan struktur pemerintahan serta kebijakan-kebijakan sepihak, yang begitu menyiksa rakyat di satu sisi dan protes berkepanjangan dari masyarakat atas ulah jahat dan laknat bernama korupsi di sisi lain seakan harus (bisa)  kita mengerti (bukan untuk dipahami apalagi untuk dimaklumi) dari dua sudut pandang asimetris di atas.

Mengiris!, negara ini tertatih-tatih dalam kengerian yang mencekam Ibu Pertiwi, membuat bulu kuduk merinding, dan mata mengernyit akibat silau oleh perilaku tak terpuji. Di saat rakyat memplesetkan demokrasi sebagai aktivitas berdemonstrasi kendati tahu dan sadar tak akan mendapat solusi, para pejabat negeri juga memplesetkan demokrasi sebagai aksi sarana mencari sensasi. Semua berkicau, tuduh menuduh dan menganggap diri paling benar, seperti ungkapan Bapak “khairul jasmi” bak Murai Batu saja mereka berkicau.

Rakyat tahu bahwa seluruh protes mereka pada kenyataannya hanya berpangkal tapi tak berujung. Tapi “siapa itu rakyat ?” menjadi pertanyaan serius juga akhir-akhir ini. Bayangkan bila se-kelompok orang tertentu serta merta mengklaim diri sebagai rakyat yang sesungguhnya atau mengklaim diri sebagai representasi rakyat Indonesia dari Sabang sampai Merauke kendati di saat mereka membakar kantor polisi, merusak fasilitas umum, mengusir para pengusaha yang telah mempekerjakan mereka, atau berteriak di jalanan dengan modal dari sang provokator. Inilah telenovela yang paling tidak lucu di negari ini.
Sangat sulit di mengerti, semua jajaran di negeri ini tak mau ketinggalan untuk berbicara, atau berpotret ria. Semua demi eksistensi diri. Baik itu di tv, radio, media massa lain seperti surat kabar. Semua ingin turut andil bagian. Apa sebenarnya yang tengah terjadi? negeri ini seakan terlahir untuk sejuta sensasi, dan semua yang terjadi di negeri ini di umbar di berbagai media massa hingga Negara-negara tetangga tahu semua tentang Negara kita. Benarkah ini arti demokrasi, ataukah hanya sejuta sensasi?
Faktanya kepada rakyat, baik yang aktif berdemonstrasi atau lebih suka melakukan aksi nyata bagi negeri ini, para pejabat pemerintah berulang-ulang meminta agar rakyat bersabar, karena demokrasi adalah proses dan bukan ujung dari setiap pembangunan sebuah negara. Entah siapa yang benar dan siapa yang hanya merasa diri benar! Haruskah selalu seperti ini? (Era Susanti)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar